🦋 PART 31 🦋

10.3K 545 35
                                    

ga terlalu suka double up, soalnya kalian bacanya suka loncat²🗿

__________


"Argh...!" Elgar meringis tatkala kapas yang ditetesi obat merah ditekankan begitu keras ke lebam di pipinya.

Jehan—pelakunya hanya menatap sang adik dengan raut datar. Tapi tak urung tangannya tetap mengobati lebam Elgar. Seumur-umur, baru kali ini Jehan mau perhatian pada cowok SMA itu. Biasanya juga, dia tak peduli mau bagaimanapun kondisi Elgar. Tapi kali ini, entah angin apa yang membuat Jehan mendadak perhatian.

"Udah," ucap Jehan sembari meletakkan semua obat-obatan dan kapas kembali ke kotak P3K lalu menutupnya.

Elgar segera menetralkan ekspresi, takut diejek oleh abangnya. Bersidekap, ia menceletuk, "Ehm, tumben lo baik, Bang. Biasanya juga kek setan."

Secepat itu kepala Jehan tertoleh pada Elgar. Tatapannya tajam terarah pada sang adik. "Daripada elo, kek Lucifer!"

Bukannya marah, Elgar justru meneguk setengah gelas air lalu membalas santai, "Hm, thanks."

Jehan yang agak esmosi melempari wajah Elgar dengan kapas bekas. "Itu bukan pujian, dongo!"

Melihat ekspresi Jehan yang seperti orang nahan berak membuat Elgar menahan tawa mati-matian.

Lalu hening.

Dua bersaudara itu berkutat dengan pikiran masing-masing.

Tentang Kiara.

Tentang orang-orang yang membully adik mereka.

Tentang Razor dan gangster bajingannya.

"Papa udah hubungi polisi. Musuh kamu akan segera ditangkap."

Papa tiba-tiba nongol, bikin Jehan dan Elgar yang duduk melamun di sofa menoleh ke arahnya.

Jehan mengepalkan tangan menahan emosi. Ia mengangguk setuju. "Mereka emang harus dijeblosin ke penjara. Bahkan menurut Jehan, itu belum cukup. Berani-beraninya renggut kesuciannya Ara."

"Sebelum diserahin ke polisi, gue pengen hajar dia biar mampus," geram Elgar, menggeretakkan giginya.

"Oh, ya, Pa. Pembully-nya Ara udah ketemu. Papa udah tau?" tanya Jehan berikutnya.

Papa memberikan sebuah anggukan. "Papa udah ditelepon pihak sekolah. Besok papa akan ke sana."

"Jehan ikut, Pa!" Jehan mengajukan diri, disetujui oleh sang papa.

Kemudian,

"Elgar." Suara bariton papa memanggil. Pandangannya teralih pada putra keduanya, lantas langkahnya dibawa mendekat.

Seketika, Elgar bingung harus ngapain ketika papanya berjongkok di hadapannya. Kernyitan di dahinya tak dapat disembunyikan lagi, ditambah raut papa yang tak lagi tegas saat berhadapan dengannya.

Hm, ada apa dengan papa?

"Papa ... minta maaf."

Terkejut, tapi Elgar menyembunyikan ekspresi itu sebaik mungkin. Sementara Jehan, ia hanya melihat kejadian itu dengan bibir terkatup rapat.

Papa menunduk sejenak.

"Papa sadar kalo selama ini ga bersikap adil ke kamu. Papa selalu mengabaikan perasaan kamu hingga akhirnya kamu tumbuh menjadi anak yang liar," kata papa menyesal. Hatinya kini dipenuhi rasa sesak.

"Papa yang salah karena bikin kamu ngerasa dianaktirikan. Seharusnya papa lebih peka atas perasaan kamu, tapi papa malah lebih milih buat mengabaikan." Wajah berwibawa papa tertunduk lagi, matanya kini memandang sayu.

ANIMOUS #1 | Bullying Is Scary [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang