Early - 11

41 16 2
                                    

"Ra..." Lirih Rangga saat Rara tengah berjalan ke arahnya, hendak masuk ke dalam rumah. Rara menunduk, ia melangkah lesu berjalan melewati Rangga begitu saja.

"Semuanya, Rara permisi ke dalam dulu ya." Pamit Rara.

"Kayaknya cuma gue doang yang nggak bakal kesenggol rasa ke Rara." Ujar Rangga jumawa, Ariel hanya mencebik. "Lu sendiri gimana? Terlepas dari asumsi dan gosip yang beredar, lu suka nggak ama dia?" Tanya Rangga kemudian.

Ngapain sih bahas cewek orang?! Jelas-jelas dia lagi jalan sama Akbar. Ngapain dibahas dan dikhayalin?! Ketus Ariel.

Teringat percakapan dirinya dengan Rangga dulu kala. Ariel mendengus. Cuma gue apanya?! buktinya malam ini lu malah mau ikat Rara.

***

"Ra... Mau ke tempat Ariel?" Tanya Hendra saat Rara membuka pintu kamarnya.

Karena khawatir, Hendra memang berinisiatif menemui Rara selepas Dwi dan Rangga pamit pulang. Rati mengekor dari belakang.

"Hmmmm..."

"Kalau mau, ayo Papa anterin." Ujar Hendra.

"Boleh?" Tanya Rara tidak percaya.

"Boleh, ayo."

Rara dan Hendra pun segera meluncur ke rumah Danang. Sesampainya di sana, Hendra segera menjelaskan apa yang terjadi pada Danang dan Erni. Sedang Rara langsung izin menemui Ariel di kamarnya.

"Ariel sih nggak bilang apa-apa, tadi pulang biasa aja." Ujar Erni yang diangguki Danang.

"Syukurlah, mudah-mudahan emang Ariel nggak salah paham atau apa." Harap Hendra.

Rara terus berjalan menuju kamar Ariel. Ia lalu mengetuk pintu meski sempat ragu. Ketukan pertama tanpa respon, baru ketika ketukan kedua pintu langsung terbuka.

"Ra?!" Ariel mengernyitkan kening diliriknya jam dinding di kamarnya. Pukul delapan lewat tiga puluh menit.

"Aku nggak diizinin masuk?" Tanya Rara karena Ariel semenjak tadi mematung di ambang pintu.

"Sama siapa ke sini?" Bukannya menjawab minimal memberi Rara jalan masuk, Ariel malah balik bertanya.

"Papa."

"Papa Hendra ada di depan?" Tanya Ariel lagi, Rara mengangguk.

"Ada, lagi ngobrol sama Ayah." Jawab Rara. Ariel akhirnya bergerak dari posisinya. Ia keluar kamar melewati Rara. Rara menarik nafas panjang. Ia pun ikut balik badan dan berjalan di belakang Ariel.

"Pa." Sapa Ariel sembari menyalami Hendra. Hendra tersenyum lega saat mendapati sikap Ariel tampak biasa. Dewasa, itulah yang ia lihat dari sosok Ariel malam ini.

"Rara mau nginep di sini katanya. Boleh?" Tanya Hendra dengan tangan masih menjabat tangan Ariel.

"Boleh atuh. Iya nggak, Riel?" Cepat-cepat Danang menyahuti pertanyaan Hendra. Takut-takut Ariel telat merespon.

"Iya." Timpal Ariel dengan seulas senyum. Danang dan Hendra benar-benar tampak lega.

"Ya udah kalau gitu saya pamit." Ujar Hendra.

"Buru-buru, Pak?!" Ujar Danang.

"Kasian mamanya Rara sendirian di rumah."

"Oiya. Salam buat Bu Rati." Erni buka suara.

"Insyaallah nanti saya sampaikan."

Setelah mengantar kepulangan Hendra sampai teras rumah, Danang dan Erni segera pamit masuk terlebih dahulu. Membiarkan Ariel dan Rara berdua.

"Udah ngantuk?" Tanya Ariel, Rara menggeleng.

"Ariel."

"Apa?"

"Aku...." Rara menarik nafas terlebih dahulu. "Aku nggak nakal kok." Ujar Rara lagi, mengulangi perkataannya tadi. Ariel menoleh lalu menatap lekat Rara yang tengah menunduk dalam itu.

"Ke kamar yuk?!" Ajak Ariel.

"Riel...."

"Iya ngomongnya di kamar."

***

"Ga...." Lirih Dwi.

"Aku ke kamar dulu ya, Bu." Pamit Rangga lesu.

"Iya."

Dwi paham, Rangga kecewa. Ekspektasinya meleset jauh dari realita.

Dia sama Rara. Nggak aneh sih tapi nggak nyangka aja, apa yang diomongin ternyata bener. Mereka ada hubungan. Bentar.... Putra sahabat saya? Emang Om Hendra sama Om Danang beneran sahabatan. Batin Rangga karena yang ia ingat, beberapa waktu lalu, keduanya tampak berkenalan. Catat, berkenalan di depan Rangga saat keduanya menjemput putra putri mereka. Ada yang aneh dan nggak beres kayaknya. Tambahnya. Rangga terus memutar memori, mencari celah letak kejanggalan.

***

Ariel menarik Rara masuk ke dalam kamar. Rasa yang ada di hatinya seolah tengah berlomba melebur jadi satu, campur aduk.

"Riel....."

"Apa sih dari tadi manggil-manggil aja. Nih akunya aja ada di sini, nggak ke mana-mana." Ujar Ariel gemas.

"Ya abisnya kamu diem gitu."

"Ini akunya dari tadi gerak, Rara. Nggak diem." Elak Ariel.

"Mulut kamu."

"Lha dari tadi nimpali kamu terus."

"Jadi kamu nggak marah?"

"Udah tidur. Berisik." Bukannya menjawab pertanyaan Rara, Ariel malam memerintah perempuannya itu untuk segera beristirahat.

Rara menelan saliva, dadanya sesak. Ariel memang masih menanggapinya tapi Rara mendapati tanggapan Ariel datar bahkan kadang dingin.

"Gimana kalau besok kita pergi liburan sekeluarga?! Siapa tahu dengan begitu Ariel dan Rara juga ada momen mencairkan ketegangan." Usul Erni pada Rati melalui sambungan telepon.

"Iya, saya setuju." Sahut Rati.

"Kita pergi mantai sekalian makan siang di sana. Bagaimana, Bu?" Erni menanyakan pendapat Erni dari idenya yang terlintas.

"Boleh itu, Bu."

"Pakai mobil kita ya, Bu. Biar lebih akrab kita satu mobil aja. Jadi momen Rara sama Ariel juga makin banyak." Ujar Erni.

"Siap."

***

Ariel melirik Rara, terlihat tubuh itu sesekai bergetar, dahi Ariel berkerut.

"Hey.... Kamu nangis?" Ariel membantu Rara merubah posisi. "Kenapa?"

"Jangan marah." Lirih Rara.

"Ya ampun, Ra. Siapa yang marah sama kamu?!"

"Buktinya dari tadi dingin ke aku." Keluh Rara.

"Maaf, aku cuma lagi nggak enak perasaan. Bukan marah sama kamu."

"Aku...."

"Udah ya?! Tidur. Sini aku pelukin." Ujar Ariel sembari menarik Rara masuk ke dalam pelukannya. Rara serta merta memeluk Ariel erat. Sudut bibir Ariel pun terangkat beberapa sentimeter mendapat perlakuan dari Rara itu. Ariel lalu mengecup puncak kepala Rara mesra. Sekarang kamu istri aku, Ra. Milik aku. Batinnya.

Early Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang