Early - 22

51 11 1
                                    

"Sepertinya lebih cepat lebih baik."

"Hmmmm...."

"Tunangan dulu saja, diikat. Biar pada tahu udah ada calonnya baru setelah Rara lulus kita langsungkan akad nikah. Baik Doni maupun kami tidak keberatan jika Rara kuliah. Bahkan untuk biaya kuliahnya biar saya yang tanggung." Tutur ayahnya Doni.

"Jadi kapan kita bisa melangsungkan pertunangan ini?" Ibunya Doni pun ikut buka suara.

Erni yang hendak masuk tertegun di depan pintu. Dengan perlahan ia putar badan meninggalkan rumah orang tua Rara secara diam-diam. Sesampainya di rumah ia pandangi foto putra sulungnya. Menangis tersedu.

"Ibu kenapa?" Tanya Aris.

"Ibu inget kakak kamu."

"Bu, udah. Almarhum udah tenang di sana. Ibu jangan sedih kayak gini. Kasian almarhum, Bu." Aris yang duduk tepat di samping Erni hanya bisa mengelus punggung Erni lembut.

"Rara mau diajak tunangan." Lirih Erni.

"Hah?!" Aris membulatkan mata mendengar penuturan ibunya itu. "Raranya mau?" Tanya Aris.

"Nggak tahu, tadi Ibu keburu pulang. Nggak jadi masuk, nggak kuat." Jujur Erni. Aris menelan saliva, otaknya  diajak kerja keras untuk berpikir.

Semenjak itu Erni kembali murung, Aris sampai harus memangkas waktu lama-lama di luar rumah. Takut terjadi sesuatu dengan Erni yang di rumah sendirian.

"Daf, sorry ya lu jadi double job sama bagian gue."

"Nggak apa-apa. Don't worry. Asal jelas aja persentasenya." Kelakar Dafa.

"Pasti."

"Becanda, Ris. Gitu aja dibawa serius."

"Serius juga nggak apa-apa. Gue emang lagi nggak bisa soalnya." Ujar Aris sungguh-sungguh, Dafa mengernyitkan kening. Bukan Aris yang biasa, begitu tutur batinnya.

"Ada masalah?" Tanya Dafa hati-hati.

"Biasa nyokap."

"Kenapa lagi? Perlu kita temani lagi?"

"Nyokap denger Rara mau tunangan. Nyokap nggak rela."

"Udah lu kawinin aja. Cantik ini. Lagian nggak keliatan di atas kita." Ceplos Dafa asal.

"Lu, sembarangan ya kalau ngomong." Aris menimpuk Dafa gemas.

"Daripada lu jomblo, terus nyokap harus lepasin menantu kesayangan. Ya udahlah lu jadiin bini aja. Cakep kok, cakep. Cakepan dia malah dari Fatia." Seloroh Dafa dengan senyum lebarnya.

"Tambah mendidih otak gue." Keluh Aris keki. Dafa nyengir.

Karena pikirannya sedang tidak bisa diajak kompromi apalagi usaha, Aris akhirnya pamit pulang lebih awal. Dengan catatan kerjaan dia tetap selesai dibantu Dafa. Yang lain maklum terlebih aura Aris berbeda dari biasanya.

Sesampainya di rumah, ia mendapati Rara tengah berjalan keluar pagar rumahnya menuju rumah Erni dan Aris.

"Mau ke Ibu?" Tanya Aris saat turun dari motor dan Rara baru saja masuk pekarangan rumah baru orang tua suaminya dulu.

"Iya." Angguk Rara. "By the way Ibu sehat kan?" Tanyanya. "Beberapa hari ini nggak pernah ke rumah soalnya. Mama juga katanya tadi ke sini tapi nggak ada yang bukain pintu." Papar Rara.

"Iya, Ibu kayaknya lagi nggak enak badan." Bohong Aris. Karena Erni bukannya sedang kurang sehat, hanya sedang tidak enak perasaan, hati juga pikirannya.

"Boleh ikut masuk?" Tanya Rara sungkan.

"Nginep juga boleh, Teh." Cetus Aris begitu saja. Rara membulatkan mata, tapi seketika dia hanya melempar senyum manis. Aris nyengir.

Karena beberapa kali dipanggil tidak menyahut, Aris mempersilakan Rara duduk sedang dirinya hendak mencari Erni terlebih dahulu.

Erni tengah berbaring di kamarnya saat Aris membuka pintu kamar ibunya itu. Aris lalu memberi tahu jika ada Rara yang menunggunya di ruang televisi.

"Suruh Rara ke sini aja." Titah Erni. Aris patuh. Dipanggilnya Rara untuk ikut masuk ke kamar Erni.

"Ibu?!"

"Ehh sini, Ra."

"Ibu sakit?"

"Nggak, cuma pusing aja."

Aris undur diri. Ia hendak bersih-bersih badan lalu mencari kudapan di dapur. Tapi sepertinya sang Ibu tengah malas menyiapkan makanan, jelas meja makan bersih tanpa ada hidangan apapun.

"Ibu tadi pusing jadi nggak masak." Seloroh Erni yang kini sudah berdiri di belakang Aris bersama Rara.

"Nggak apa-apa, nanti kita pesen go-eat aja." Ujar Aris sembari tersenyum, menenangkan.

"Rara ambilin makanan ya, kebetulan tadi Mama juga masak banyak." Seloroh Rara.

"Nggak usah." Tolak Aris.

"Iya nggak usah." Erni menimpali.

"Ihh Mama sengaja kok masak. Udah feeling Ibu sakit. Sebentar." Ujar Rara sembari berlalu.

Tidak lama kemudian Rara kembali dengan membawa makanan. Rara kembali tidak sendiri, tapi juga dengan Rati. Melihat besan dan menantunya ada di rumah, Erni merasa lebih bugar. Aris menarik nafas panjang.

"Bu..." Aris meminta Erni duduk di sampingnya. Sepeninggal Rati juga Rara beberapa menit yang lalu setelah mereka bertiga bercengkrama panjang lebar khas para wanita.

"Iya?!" Erni duduk, Aris mengatur nafas. Sembari mencuri kesempatan menimbang baik buruknya. Setelah mantap baru dia berujar.

"Kalau misal Aris suka sama Teh Rara dan pengen nikahin dia, boleh?" Erni membulatkan mata, ditatapnya lekat sang putra bungsu.

***

Nahhhh kan???
Akankah ada early wedding lagi.
Lanjut di AddPart KaryaKarsa ya

Happy Reading ❤️

Happy Reading ❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Early Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang