Erni terpuruk. Ia sampai enggan beraktivitas. Hal yang sama dirasakan juga oleh Rara. Bahkan Rara jatuh sakit dan sampai harus mendapat perawatan intensif di salah rumah sakit.
Erni hari ini hendak menjenguk menantunya itu, Aris segera menawarkan diri mengantar sang ibu. Mereka kini tengah berjalan di koridor rumah sakit menuju ruang perawatan Rara.
Rara tampak lemah. Menurut Rati, Rara mogok makan. Ia selalu menangis. Ternyata kondisi Rara membuat khawatir Hendra. Perlahan kondisi kesehatan Hendra pun menurun.
Rati mulai cemas juga panik. Sedang Erni terus saja berhalusinasi jika sosok laki-lakinya hanya pergi untuk bekerja dan sekolah seperti biasa. Tidak ingin berlarut, Aris mengajak Erni untuk pindah rumah.
Sebelumnya Aris sudah mencari tanpa sepengetahuan dan persetujuan sang ibu. Baru saat mendapatkan yang cocok, ia berbicara pada Erni mengenai rencananya.
"Tapi, Ibu...."
"Bu, siapa tahu di rumah baru kita dapat suasana baru."
"Iya sudah, Ibu ikut aja." Erni mengalah.
Tapi ternyata keadaan tidak berpihak dari mereka. Rumah yang mereka hendak beli ternyata telah dibayar lebih dulu oleh orang lain. Aris akhirnya harus menyaksikan ibunya kembali berhalusinasi di rumahnya. Seperti siang ini, Erni memasak banyak. Tepatnya untuk empat orang, padahal kini di rumah itu hanya ada dirinya dan Erni saja.
Lain cerita dengan Rara, Rara memang sudah keluar dari rumah sakit. Ia pun sudah mulai bersekolah lagi mengingat ujian akhir semester ganjil di depan mata. Tapi ia menjadi sensitif. Mendengar sesuatu yang berkaitan dengan Ariel terlebih kematian ia langsung ambruk.
"Ra...." Lirih Gavin.
"Aku....?!" Rara mengamati sekitar saat indera penglihatannya terbuka sempurna.
"Di UKS. Tadi tiba-tiba kamu pingsan depan kelas." Terang Gavin. "Ra... Yang sabar ya, yang kuat." Gavin berusaha menguatkan.
"Susah, Vin." Cicit Rara. Gavin menunduk.
"Ya udah kamu mending istirahat dulu ya di sini. Atau mau aku antar pulang, biar bisa istirahat di rumah?"
"Aku pengen ketemu Ariel aja." Lirih Rara. Gavin speechless. Sedang Okta yang baru sampai di ruang kesehatan diam-diam meneteskan air mata, prihatin. Rangga yang berdiri di samping Okta hanya bisa menelan saliva. Begitu juga Akbar yang turut serta.
"Ariel udah tenang, Ra. Kamu nggak boleh gini terus. Ariel pasti sedih liat kamu kayak gini." Ujar Gavin lembut. Rara pun berurai air mata.
"Ra, udah dong." Okta berhambur memeluk Rara erat.
"Ta, gue kangen Ariel. Gue pengen ketemu dia."
"Ra...."
"Kenapa dia pergi, Ta? Kenapa dia ninggalin gue?"
"Ra....." sesak, itulah yang ikut dirasakan Okta. Terlebih hanya dia satu-satunya di sekolah ini yang tahu bagaimana hubungan Ariel dan Rara sesungguhnya. Pasti nggak mudah, begitu batinnya berbisik.
Ujian akhir semester kali ini terasa berat bagi Rara. Okta menjadi garda terdepan melindungi Rara dari hal-hal sensitif.
Gavin mengajak teman-teman satu kelasnya bahu membahu menjaga Rara. Okta yang tahu niat Gavin itu tentunya sangat mendukung dan berterima kasih.
"Ris..." Dafa menepuk pundak sahabat karibnya.
"Daf." Aris balas menyapa.
"Gimana Ibu?"
"Gitu aja."
"Masih di rumah lama?"
"Iya."
"Katanya mau dibawa pindah?"
"Rumahnya keburu dibeli orang."
"Ya ampun."
"Iya gue lagi usaha nyari lagi ini juga."
"Kalau lu nggak keberatan agak di pinggiran kota, gue ada info."
"Tahu dari mana?"
"Facebook."
"Meyakinkan nggak?"
"Kita kontak aja, coba tanya-tanya. Syukur-syukur diizinin liat-liat."
"Oke."
Setelah membuat janji bertemu melalui telepon akhirnya mereka di beri alamat lengkap.
"Lha ini kan?!"
"Kenapa, Ris?"
"Itu rumah Rara." Tunjuk Aris ke arah rumah yang tepat bersampingan dengan rumah yang hendak dia survey sore ini.
"Saudara Aris?" Tanya seorang pria berusia hampir sama dengan almarhum ayahnya sembari memindai Aris dari atas hingga bawah.
"Iya."
"Ohh masih muda ya?!" Ujarnya datar. "Sangat muda." Ralatnya.
"Iya kebetulan saya diminta Ibu saya mencari rumah."
"Ohh iya." Angguknya masih tanpa ekspresi. Karena dalam pikirannya yang hendak survey pria dewasa, sehingga enak ia ajak negosiasi.
"Aris?!"
"Om?!"
"Pak Hendra kenal?" Tanya laki-laki itu pada sang tetangga.
"Kenal, putra sahabat saya."
"Iya Nak Aris menghubungi saya untuk menanyakan rumah."
"Kamu mau beli rumah?"
"Iya, Om. Mau ajak Ibu pindah. Saya nggak tega melihat Ibu masih seperti ini."
"Yang sabar ya. Rara juga sama."
"Teh Rara masih terpukul?"
"Masih. Sering pingsan malah kalau ada yang ungkit almarhum atau tentang kematian."
"Semoga mereka diberi kekuatan dan kelapangan ya."
"Aamiin."
"Bagaimana, Nak Aris?" Tanya bapak pemilik rumah yang hendak menjual propertinya itu.
"Saya coba diskusikan dulu dengan Ibu saya ya, Pak."
"Baik. Tidak masalah. Tapi kalau tiba-tiba ada yang mau dan sama-sama cocok. Saya minta maaf kalau lepas rumah ini pada orang tersebut ya."
"Iya, Pak. Tidak apa-apa." Ujar Aris. Dan perbincangan pun diakhiri dengan pamitnya sang tetangga Hendra tersebut.
"Ris, ajak Ibu kamu menginap di sini. Siapa tahu jika berkumpul, Rara juga Ibu kamu sedikit terhibur." Ujar Hendra.
"Iya, Om."
"Pintu rumah Om terbuka untuk kalian."
"Iya, nanti Aris coba ajak Ibu. Siapa tahu Ibu mau. Kebetulan Ibu sepertinya butuh teman." Ujar Aris yang langsung diangguki Hendra. "Om sakit?" Tanya Aris tiba-tiba saat menyadari wajah pucat Hendra.
"Nggak, kayaknya kecapekan aja."
"Banyak istirahat, Om. Jangan terlalu capek. Nggak bagus." Hendra tersenyum lebar mendengar ucapan Aris. "Kalau begitu kita pamit dulu ya, Om." Hendra mengangguk melepas adik Ariel dan temannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Early Wedding
RomanceKetika early wedding menjadi pilihan. Sanggupkah dua anak manusia menjalaninya dengan baik? Mengingat usia mereka yang masih sangat muda dalam menjalani bahtera rumah tangga.