2

10 1 0
                                    

Sekarang, aku sedang menunggunya di depan gedung fakultas. Aku dengar Prince sedang menghadap dekan perihal masalah perkelahian dengan Felix, kemarin. Benar apa kataku kan, masalah ini pasti akan sampai pada dosen, kaprodi, kajur, dekan, dan deretan lainnya. Kemudian, tersebar ke seantero kampus.

Bukan sebuah hal yang tabu, berita mengenai Prince yang sukanya memang bikin ulah dan keributan seperti sudah menjadi santapan sehari-hari bagi penduduk kampus. Tapi, jujur. Waktu pertama kali aku dengar dari Rocky dan Catur bahwa Prince akhirnya dipanggil untuk menghadap dekan soal keributan yang dia lakukan kemarin itu sukses membuatku terkejut dan khawatir pada cowok itu.

Ya, khawatir. Karena aku takut dia akan benar-benar di keluarkan dari kampus. Apabila itu terjadi, aku rasa Prince akan mendapatkan masalah baru dengan orangtuanya, terutama kakeknya. Aku berharap hari ini bukanlah akhir dari segala reputasinya di kampus ini. Dan, semoga Prince masih diberikan kesempatan untuk merubah perilakunya. Walaupun, kecil kemungkinan itu mustahil terjadi dalam waktu singkat. Ya, karena semuanya butuh proses!

Satu jam aku hampir menunggu. Sampai akhirnya, Prince pun muncul seorang diri dengan wajah yang sangat tidak bersahabat.

Aku segera berdiri menghampirinya dan melayangkan pertanyaan padanya. Aku tidak perduli bagaimana reaksinya nanti begitu aku langsung melayangkan pertanyaan kepadanya bukannya justru membiarkan dia mencari waktu untuk sendiri karena habis bertemu dekan.

“Prince, terus gimana?” tanyaku perduli dan penasaran. Tiba-tiba muncul menghalangi Jalannya.

“Gimana apanya!” katanya dengan nada terdengar kesal. Dia menatapku dengan sorotan mata yang masih menahan rasa kesal.

“Soal, tadi. Urusan kamu dipanggil sama Dekan, gimana?”

“Gue berharapnya sih pihak kampus langsung kasih surat pengeluaran. Tapi, ternyata enggak! Itu semua karena kakek gue!” jawabnya dengan nada kesal.

“Kamu nggak jadi di keluarin?” yakinku dari apa yang aku dengar barusan.

“Nggak,” jawabnya. Kemudian, berjalan mendahului. Aku dengan cepat mengikutinya.

“Syukurlah kalau begitu, Prince!” kataku senang.

Dia tiba-tiba berhenti mendadak membuatku hampir saja menabrak punggungnya. Prince menatapku dan kemudian bilang, “Lo doain gue supaya nggak di keluarin dari kampus ini?” katanya.

“Iya. Memang harusnya begitu, kan?” jawabku senang.

“Harusnya lo doain gue supaya di keluarin, Bel!” Aku terkejut menatapnya. “Gue nggak mau ada di kampus ini lagi! Lebih baik gue pindah ke tempat lain yang jauh dari semua yang gue kenal di sini! Karena dengan itu gue bisa tinggal jauh dari keluarga gue. Hidup merantau di negeri orang kayaknya akan lebih menyenangkan untuk gue,” katanya.

Sejenak aku terdiam mencerna kembali apa yang telah dia katakan barusan. Dan, kemudian bilang, “Termasuk aku?”

Setelah aku katakan itu dia seolah baru sadar dengan perkataannya barusan yang mungkin pikirnya telah menyentil perasaanku sebagai sahabatnya. Kemudian, aku mulai menyadari raut wajah bersalah yang ditunjukkan olehnya. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa. Mungkin, dia juga bingung harus bilang apa untuk menarik kata-katanya barusan.

Tiba-tiba, Mark memanggil namaku dan membuat kami berdua menoleh melihat kehadirannya datang membawa sebuah botol mineral. Perlu kalian tahu, Mark ini sejenis mahasiswa yang selalu membawa minum ke mana-mana. Karena katanya, kalau mau beli minum ke kantin, malas. Ibarat jarak antara gedung fakultasnya dan kantin itu seperti jarak antara Bumi ke Bulan. Jauh banget!

“Hai!” sapanya kepada kami berdua. Kami otomatis memberi jarak. Aku dan Prince langsung bersikap seperti biasa.

"Kenapa?” tanyaku pada Mark.

IN A LOST YOU / INALOSTYOU!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang