Don juan

104 5 3
                                    

Bekerja disebuah perusahaan percetakan majalah di sudut kota tidak membuat Hinata Shoyo berkecil hati. Meski perusahaan tempatnya bekerja itu sudah berencana untuk gulung tikar, tapi Hinata tetap semangat bekerja. Berangkat jam delapan pagi lalu pulang jam lima sore. Itu sudah menjadi kebiasaan baginya.

Ia tahu didunia yang sudah sangat maju sekarang sudah jarang orang yang membeli majalah. Kebanyakan dari mereka lebih memilih melihatnya di handphone.

Meski begitu ia tidak berencana untuk berhenti dari pekerjaannya yang sekarang. Karena, mencari pekerjaan itu sulit. Lagipula perusahaan mana yang mau menerima anak lulusan SMA tanpa pengalaman kerja? Sudah sangat
Jarang. Walaupun Hinata dibilang murid yang lumayan berprestasi tapi sekarang kebanyakan perusahaan lebih memilih sarjana sebagai karyawan mereka.

Bagi Hinata yang sedari dulu hidup dengan berkekurangan, kuliah adalah pilihan yang berat setelah lulus sekolah. Apalagi ia hanya hidup sebatang kara, orangtuanya kecelakaan pesawat lima tahun yang lalu. Dan saudara2nya tak ada yang mau menampung. Jadinya ia harus terus berjuang demi hidupnya sendiri.

Gaji yang ia dapatkan dari perusahaan ini juga lumayan. Bisa memenuhi biaya hidupnya. Ia tinggal di apartemen kecil yang hanya berisi satu ruangan dan kamar mandi. Ia berangkat bekerja dengan jalan kaki untuk mengurangi biaya naik angkutan kota.

Yah, intinya Hinata merasa bersyukur hidup dengan keadaan seperti ini. Setidaknya ia masih punya pekerjaan dan masih bisa makan dengan layak.

.

.

.

.

.

"Apa? Tutup?"

Kabar tidak mengenakan datang dari Bos Hinata. Katanya perusahaan ini dibeli oleh seseorang dengan harga yang tinggi. Ia memberitahu hal itu kepada para karyawannya yang hanya ada tiga orang saja. Pemilik perusahaan tentu saja menerimanya, perusahaan ini sudah bobrok dan hancur. Yang membuatnya bertahan adalah para pegawainya yang masih membutuhkan pekerjaan. Apalagi Hinata, ia bertahan karena anak itu.

Tapi, jika ia terus merasa kasihan ia jiga tak akan maju. Maka dari itu, ia menerima perusahaan yang tak seberapa ini dijual dan berencana akan membuat usaha dari hasil penjualan perusahaannya.

"Karena perusahaan ini akan diambil minggu depan jadi kita masih punya waktu tiga hari untuk berkemas. Ada beberapa majalah lama yang akan disumbangkan dan majalah yang akan kita cetak akan dibatalkan."

Hinata mematung.

"Untuk gaji bulan ini akan dibayar penuh dan juga ada beberapa tambahan. Jadi kalian jangan khawatir. " Ucap Bos. Itu kabar baik, jujur saja. Cukup menghibur Hinata, tapi bagamana selanjutnya? Dimana ia bisa mencari pekerjaan. Uang gaji hanya cukup untuk dua bulan kedepan. Ditambah beberapa tagihan listrik membengkak karena Hinata lupa untuk menghemat.

"Bos, siapa yang membeli perusahaan ini?" Rekan Hinata bertanya, dia adalah pria sinis berkacamata. Usia mereka sama, hanya saja mulutnya terlalu garam. Setiap ucapannya menyebalkan kadang.

"Aku tidak terlalu mengenalnya, tapi yang kutahu jika dia seorang yakuza."

Ah, pantas saja.

Rumor tentang Yakuza yang beredar disekitar sini ternyata bukanlah bualan belaka. Itu nyata, wajar jika bos-nya menerima tawaran Yakuza itu untuk menjual perusahaan kecilnya. Harganya selalu tinggi, mau berapa kalipun menolak kau tak akan bisa, uang yang mereka berikan lebih menggiurkan daripada sepotong ayam panggang berbumbu pedas.

Hinata menghela nafas lelah, didalam hatinya ia bimbang. Temannya mendengar helaan nafas Hinata. Ia juga tahu, hidup si kecil ini sangat memprihatinkan. Pasti berat baginya untuk pergi dari pekerjaan yang lumayan bagus ini.

OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang