Tahun kedua setelah lulus kuliah, Hinata Shoyo menikah dengan Soulmate-nya.
Tsukishima hadir dipernikahan itu. Menatap nanar Hinata yang tertawa bahagia dengan pasangannya. Dia adalah anak inarizaki sewaktu sekolah dulu. Mereka bertemu dipertandingan internasional dan kemudian saling mengenal lewat sana.
Tsukishima tidak melakukan apapun. Ia bahkan tidak mencoba menghalangi Hinata untuk bersama soulmatenya. Tidak. Ia tidak mau menjadi yang ketiga diantara Hinata dan pasangannya. Itu menyakitkan baginya.
Ia tidak mampu menatap mata indah sewarna madu itu lagi ketiga Hinata dengan cerianya bercerita tentang Soulmate-nya yang baru saja melamarnya, dua bulan yang lalu.
Tsukishima tidak menyesali apapun. Perasaannya pada Hinata ataupun segala kenangan kecil yang Tsukishima bangun itu tidak ia sesali. Setidaknya ada beberapa momen penting dihidup Hinata yang diisi dengan Tsukishima. Meski sekarang kebanyakan diisi oleh bola Voli (tentu saja!) Dan pasangannya.
"Aku berterima kasih pada Tsukishima yang telah membantuku mengerjakan skripsi sehingga aku bisa lulus tepat waktu. " Suara Hinata menggema di sekeliling aula. Berpidato tentang bagaimana ia bertemu dengan pasangannya.
"Berkatnya aku bisa menikah lebih cepat dengan soulmate-ku." Hinata tersenyum, menatap sang suami dengan wajah berbinar. Sungguh matanya cerah seperti bintang kejora.
"Ya, aku juga berterima kasih untuk itu." Soulmate Hinata ikut bicara.
Sejenak mereka saling menatap penuh kasih, menimbulkan bunyi sorakan para hadirin disana. Pembawa acara bahkan berseru heboh disana. Tidak dengan Tsukishima. Wajahnya datar dan terlihat muram.
Pidato telah selesai.
Tsukishima memutuskan pulang tanpa berpamitan. Ia hanya tidak mampu untuk menatap wajah Hinata yang penuh binar bahagia.
Tidak ada yang perlu disesali. Tidak ada yang perlu dikenang lagi. Tidak lagi ia berharap pada bintang semu. Karena takdir telah tertulis bahwa ia tidak akan pernah jadi miliknya. Harapan kecil dihati tsukishima yang dulu bersinar temaram bak tiang lampu dimalam hari kini semakin meredup dan hilang cahayanya.
Tidak ada yang perlu dipikirkan lagi.
Ia tidak perlu lagi memikirkan tentang bagaimana cuaca esok hari. Karena kini dan nanti setiap harinya adalah hari tanpa matahari. Mendung, terkadang hujan. Atau yang paling menyakitkan adalah musim dingin yang menyelimuti hati Tsukishima untuk selamanya.
Tidak. Ada. Lagi. Harapan.
Memang seharusnya ia tidak menyakiti dirinya sendiri dengan menjadi sahabat Hinata Shoyo. Ah, tidak. Lebih tepatnya Miya Shoyo. Bertahun-tahun ia rela menemani sang matahari hingga ia mampu bersinar sendiri.
Dan kini tinggal dia sendiri yang masih berdiri disini. Sedangkan sang matahari sudah menjauh pergi menjemput takdir.
Tsukishima menatap langit hari ini. Teramat cerah dengan awan indah mengambang di udara. Berbeda dengan hatinya, teramat mendung dan bergemuruh oleh rasa sakit.
10 tahun kemudian...
Tsukishima terbangun karena cahaya matahari menyorot wajahnya. Jendela kamar terbuka dari semalam, beruntung tidak ada pencuri atau bola voli yang masuk ke dalam kamarnya. Udara panas siang hari ikut masuk, angin berembus namun udara tidak menjadi sejuk. Angin musim panas hanya menambah panas.
Ia baru sadar hal itu setelah lima menit kemudian.
Beranjak dari kasur, menutup jendela dan menyalakan pendingin ruangan. Menuju arah dapur, mengeluarkan sebutir telur dan membuat omelet sederhana. Menoleh ke arah jam dinding, jarum pendek mengarah ke angka tiga. Ini sudah sore dan ia baru sarapan? Bagus sekali.
Hidupnya berantakan dan kacau. Semenjak Hinata menikahi soulmatenya ia menghilang. Menghilang dari kedua orang itu sejauh mungkin. Menghabiskan waktu 24/7 dalam pekerjaan. Fast food setiap hari dan entah berapa botol kopi yang ia habiskan dalam sehari.
Kesehatannya juga rubuh. Ditahun ke empat, ia bekerja untuk menyibukan diri dari segala kesakitan ia dilarikan kerumah sakit. Raga Tsukishima tak mampu lagi menanggung rasa sakit.
Ia dirawat dirumah sakit selama enam bulan. Melewatinya sendirian. Kesepian, dan hampa. Hingga dia sembuh dan Dokter memperbolehkannya kembali ke rumah dengan syarat tidak boleh melakukan pekerjaan berat.
Akhirnya dia memutuskan untuk bekerja paruh waktu di sebuah toko barang bekas.
Setelah semua rasa sakit ini Tsukishima mulai berfikir. Sebenarnya siapa Soulmatenya? Mengapa dia semenderita ini hanya karena ditinggal Hinata? Dan dimana pula Soulmatenya berada? Apakah ia sudah tiada, Atau belum lahir?
Entahlah yang pasti Tsukishima ingin menjalani hidup dengan tenang. Setidaknya setelah patah hati terberatnya ini reda dia ingin melanjutkan hidup lebih baik, meskipun dirinya kesepian se umur hidup, itu lebih baik daripada menjerat orang lain untuk jatuh cinta padanya sedangkan dia sendiri masih terjerat pada cinta masa lalunya. Kejam bukan?
Setelah memakan sarapan yang terlambat berjam-jam, Tsukishima berencana keluar untuk menghirup udara segar, meskipun musim udara di luar sana tidak ada segar-segarnya sama sekali.
Dibangku taman dibawah pohon rindang. Tsukishima menutup mata sejenak mencoba menenangkan isi kepala yang kusut sejenak.
Namun suara riang gembira dua anak kecil sampai juga ditelinganya. Awalnya dia mencoba abai tapi sayangnya entah mengapa rasa-rasanya suara itu semakin dekat.
"Kenapa Paman ini tidur disini? Apa dia tidak punya rumah? "
"Ssttt, Hika-Chan tidak boleh membicarakan orang sembarangan! "
"Aku cuma penasaran. "
"Sudahlah, abaikan saja. Ayo kita pulang Mama sudah menyediakan puding jeruk untuk kita.. "
"YEAYYYY PUDING JERUKKKKKK. "
"Sssttt Hika-Chan jangan berisik! "
Baiklah, sepertinya dua bocah itu memang 'agak' tidak sopan. Tapi siapa peduli? Mereka mungkin hanya iseng. Namun Rasa penasaran berhasil membuatnya membuka mata dan menatap dua bocah kecil yang mulai berjalan menjauh.
Yang pertama anak seperti berusia sembilan tahun dan yang kedua sepertinya enam tahunan. Tsukishima tidak tahu pasti tapi ciri fisik dari mereka Tsukishima hafal betul.
Keduanya memliki warna rambut berbeda, yang satu hitam kecoklatan dan satu lagi oranye segar. Keduanya laki-laki. Pupil mata Tsukishima bergetar dan jantungnya berdegup kencang. Tidak salah lagi itu pasti mereka. Dua buah hati milik Shoyo dan Soulmatenya.
Cahaya matahari musim panas di sore hari, menyorot lembut kearah dua anak yang bergandengan tangan. Senyum keduanya tidak pernah luntur diselingi obrolan ringan penuh canda tawa.
"Tuhan, dosa apa yang kubuat di masa lalu hingga aku harus merasakan semua ini. "
Tsukishima pulang dengan langkah gontai. Nyatanya bersantai diluar hanya menambah beban fikiran saja. Sungguh, Tsukishima merasa ingin menenggelamkan diri ke laut saja.
Pulang ke apartemennya yang ada dilantai tiga, Tsukishima menaiki tangga. Tak sengaja dia berpapasan dengan seorang berambut jingga.
"Sho...yo? "
Refleks Tsukishima mengatakan itu. Tapi respon si rambut jingga hanya tersenyum lembut. Perawakannya lebih muda mirip ketika Shoyo waktu di sekolah menengah. Amat mirip malah, yang membedakan hanya mata itu besar dan berwarna coklat dengan gradiasi orange Mengingatkannya pada seseorang.
"Ah, bukan. Aku Yuzuki, Miya Yuzuki. Aku datang mencarimu. Paman Kei. "
***
Hayoloh gantung wkwkwkwkkwkwkwkkwkwkwkwkwkkwkwkkwkwkwkwkkwkwkkwkwkwkwkwkkwkwkwkkwkwkwkwkkwkwkwkwk
Nah, selanjutnya gmna ya? Ada yg mau kasih masukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot
Short StoryIni cerita cuma oneshoot atau twoshoot? Yang pasti, cerita ini cuma aku buat pas lagi ada ide. Atau kalau aku kepikiran cerita-cerita. Dan semuanya aku tumpukin disini. Pair : mxm, bxb, fem.Shoyoxharem. Semua chara punya Haruichi Furudate Sensei. A...