Selamat pagi, saya mau ucapkan terima kasih kepada teman-teman semua yang mendoakan saya dengan banyak kebaikan, semoga hal baik juga berbalik untuk kalian semua, ya, 🙂🙏
___________
"Hot Americano satu, ya, Mas," pesan Renata ke Gentala yang menjawab dengan satu kali anggukan.
"Free nya mau apa? Hari ini ada donut dan chiffon cake," ucapnya tanpa menatap Renata.
"Donut gula aja." Renata lalu memberikan uang lima puluh ribu ke Gentala yang dengan cepat memasukan ke mesin kasir lalu memberikan kembalian.
"Ditunggu, nanti diantar," ujar Gentala lagi lalu mulai menyiapkan pesanan. Renata tersenyum masam, ia kembali berjalan ke tempat yang sudah ia letakkan tas kuliah juga beberapa buku.
Tangannya membuka file catatan kuliah, pinsil, penghapus dan kalkulator sudah ada di atas meja juga. Sebelumnya ia melihat ke jam tangan dipergelangan kirinya.
Masih ada satu jam lagi, cukup kali, ya? batinnya lalu mulai mencoret-coret kertas.
Tak berselang lama, Gentala datang membawa pesanan. Kali ini ia tak menyuruh Yoga atau karyawan lain, karena dua karyawannya itu sibuk menyiapkan pesanan Rea untuk diantar ke kantor PH tempat bunda Gentala bekerja.
"Makasih," senyum tipis terukir dari Renata, Gentala sendiri datar-datar saja.
Mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri, hingga Rena melipat kedua tangan di atas meja lalu meletakkan dahi di atas lengan. Gentala diam, ia bersedekap sambil memperhatikan Renata yang tampak putus asa. Ternyata benar, sedetik kemudian Renata mendongakkan kepala menatap langit-langit kedai kopi.
Gentala mendekat, ia menyeret kursi lalu duduk di hadapan Renata sambil memberikan tisu. "Jangan memaksakan diri kalau nggak mampu."
Renata terkejut, tapi tetap menerima tisu lalu menghapus air matanya. "Gue ganti kopinya, udah dingin nggak enak." Gentala hendak meraih cangkir tapi di tahan Renata.
"Nggak papa, mubadzir. Tetep gue minum. Thanks tisunya, bermanfaat banget." Ia mencoba terlihat baik-baik saja walau sebenarnya, ya ... tidak.
"Kenapa harus maksain diri?" tembak Gentala.
"Lo tau apa, sih, asal komen aja," gumam Renata lalu merapikan buku-buku ke dalam tas kuliah.
"Semester satu?" lanjut Gentala.
"Hm." Renata mengancing tas lalu menenangkan diri dengan mengatur napasnya perlahan.
"Jangan jalani hal yang terpaksa lo lakuin. Atau lo bakal kesiksa sendiri." Gentala beranjak. Saat ia hampir tiba di meja kasir, ia mendengar isak tangis yang begitu mewakili rasa tersiksa dibatin.
Gentala melepas apron dengan jengah, melipat lalu meletakkan di atas meja pemesanan. Ia berjalan ke dapur untuk memberitau Coki jika ia akan pergi sebentar, lalu kembali berjalan ke meja tempat Renata duduk.
"Ikut gue," ajaknya. Renata mendongak, menatap heran. "Ayo," ajaknya lagi.
"Kemana?" Renata beranjak pelan. "Setengah jam lagi gue masuk kelas."
"Lima belas menit aja." Gentala meraih tas ransel Renata lalu berjalan ke arah tangga. Tak mau ambil pusing, Renata mengikuti Gentala melangkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir kopi dan cerita ✔
RomanceCerita bisa dimana saja, salah satunya saat kita menikmati secangkir kopi sambil berbicara dengan siapa pun yang ada di dekat kita. Bagaimana jika tanpa sengaja, cerita justru dijabarkan kepada seorang barista bernama Gentala, yang juga meneruskan...