Pandangan lain

261 87 4
                                    

🍃Selamat membaca🍃

"Ta, laporan penjualan bulan ini gue taruh di meja lo, ya," ujar Riki.

"Oke, thanks," balas Gentala yang sibuk menyiapkan meja untuk meeting bersama beberapa orang.

"Lo yakin mau kerja bareng perusahaan mereka?" Riki mendadak tertarik membahas tentang Koffein yang nantinya akan menjadi supplier minuman kopi kemasan untuk menjadi menu pilihan mesin minuman otomatis yang ada di beberapa gedung perkantoran perusahaan pengelola.

"Kenapa emangnya?" Genta berganti menatap Riki yang terlihat ragu.

"Lo udah hitung berapa harga penjualan dari kita dan penawaran dari mereka? Jangan sampai ada konflik nantinya, Ta, dan lo harus calling Koffein cabang lain buat masukin barang juga. Nggak bisa cuma dari cabang  di sini juga."

"Makanya gue ajak meeting mereka. Gue mau bahas detail."

Riki mengangguk. "Gue cuma mau kasih saran ke elo, jangan napsuan mau melebarkan Koffein tapi lo terburu-buru ambil keputusan. Resiko tetap lo harus pikirin. Gue bukan mau menggurui, lo tetap bos gue, tapi sebagai orang yang nggak cuma kerja di sini buat cari duit karena gue peduli sama Koffein, baiknya lo bahas sama bokap lo. Om Panji punya andil juga buat ambil keputusan. Libatkan dia, Ta."

Gentala diam, ia memang belum bercerita ke papanya tentang Koffein yang akan bekerja sama dengan beberapa pihak. Akhirnya ia putuskan setelah meeting dengan tim dari perusahaan pengelola gedung, akan berbicara kepada Panji.

Memang, Gentala masih sembilan belas tahun, tergolong muda untuk seseorang yang terjun langsung mengelola usaha kedai kopi walau ia tak memegang ke sepuluh cabang yang ada di Ibu kota, masih ada bundanya yang juga mengelola, sedangkan untuk cabang di luar kota Panji yang mengawasi dan hanya ada di pulau Jawa.

***

"Ren, lo nggak bisa kerjain soal ini?" tegur teman satu kelompok tugas kuliah Renata. Gadis itu tersenyum tipis lalu menjawab akan mencobanya lagi. Tetapi temannya tidak sabaran, ia menarik kertas dari hadapan Renata lalu mengambil alih mengerjakan soal matematika itu.

"Ngapain lo masuk jurusan sipil kalau hitungan lo nggak kuat. Nyusahin doang, lo. Ini tugas kelompok, harus semua anggota kelompok yang kerjakan," sinis cowok tampan tapi memang pintar di kelasnya sambil terus mengerjakan beberapa soal.

Renata diam, ia melirik ke teman-teman lain yang menatap aneh ke arahnya. Hanya senyuman tipis menahan rasa malu yang bisa ia tunjukkan.

Kuliah selesai jam tiga sore. Hanya mata kuliah bahasa inggris yang ia enjoy mengikuti, tidak kesusahan sama sekali. Renata melihat poster acara kegiatan mahasiswa untuk angkatan baru, pembukaan anggota baru lebih tepatnya.

"Bengkel seni?" gumamnya sambil berpikir, kemudian berjalan lagi keluar gedung perkuliahan jurusan teknik.

Renata penasaran, ia lalu berjalan ke ruang musik yang ada di belakang gedung jurusan bahasa, ada tiga jurusan bahasa yang ada di kampusnya, Jepang, Jerman dan Inggris. Suasana gedung jauh berbeda dengan gedung jurusan teknik, di sana lebih santai dan seperti sedang berada di luar negeri karena para mahasiswa berbicara tidak hanya dengan bahasa Indonesia, sebagai latihan percakapan juga.

"Permisi, mau tanya, apa pendaftaran anggota baru bengkel seni masih buka?" tanya saat ia berdiri di depan pintu bercat biru.

"Masih, kok, elo Maba, ya?" ujar perempuan yang terlihat sudah senior jauh di atasnya.

Secangkir kopi dan cerita ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang