🍃Selamat membaca🍃
"Lo suka sama Gentala, Kak?" Banu yang sedang mengerjakan PR di kamarnya mendadak terhenti, menoleh ke Renata yang merebahkan diri di ranjang adiknya.
"Nggak," akunya. Ia melirik Banu lalu mengangkat sebelah alis matanya. "Nggak percaya?"
Banu melanjutkan mengerjakan PR sambil mengangguk. "Gue tau elo, Kak Rena," sindirnya lalu tersenyum sinis.
"Nu. Gue mau kabur."
"Jangan belokin pembahasan."
"Menurut lo, kalau gue kabur, Papa Mama bakal cariin nggak?"
"Gentala baik, gue bisa lihat itu. Wajar lo jatuh cinta sama dia, ya, 'kan?" lirik Banu.
Renata beranjak, "gue rasa emang kabur pilihan terbaik. Lo bantu tutupi jejak gue, ya, Nu."
"Lo dandan dikit, biar Gentala lihat lo. Jangan kelewat cuek sama penampilan jadi cewek." Banu masih berkutat dengan PRnya tapi tetap mengomentari Gentala dan Renata.
"Gue bawa ATM lo, ya, gue siap-siap kabur, deh. Mana dompet lo?!" paksa Renata sambil mengulurkan tangan ke arah Banu. Remaja itu menatap jengah kakaknya. Ia meletakkan pulpen begitu saja di atas meja kemudian berbalik badan menatap ke arah Renata.
"Tell him, Kak. Jangan dipendam."
Renata menggebrak meja belajar Banu. "Shut up!" pelototnya. Banu menyeringai.
"Ok. Kalau lo kabur, Mama Papa pasti cari dan bisa-bisa semua polisi diminta ikut cari. Lo mau masuk head line news juga?" tantang Banu.
"Nu, gue harus gimana. Semakin hari pelajaran yang seharusnya gue pahami justru nihil gue pahami. Gue jadi bahan olok-olokkan dan lo tau gimana down nya gue?"
"Berontak. Lo harus bisa tantang balik Papa Mama kalau lo bisa berjalan dengan pilihan lo sendiri. Nggak paham sama ucapan gue? Emang lo bego berarti." Banu tertawa sendiri.
Renata diam, ia berpikir sejenak sebelum memeluk leher Banu dari belakang lalu mengacak-ngacak rambut adiknya. "Thank you!" jerit Renata. Ia seperti mendapat percikan api yang kini membakar semangatnya secara cepat.
Renata berhenti saat tiba di ambang pintu, ia menatap ke adiknya yang fokus mengerjakan PR. "Gentala sama gue temenan aja, Nu." Renata menutup pintu kamar adiknya untuk berjalan ke kamarnya. Sementara Banu meregangkan kedua tangan ke udara, ia mengendurkan otot-otot tubuhnya.
"Tukang bokis," gumamnya sambil menahan tawa.
***
"Pindah jurusan!" jerit mamanya menatap garang ke Renata yang sudah memupuk keberanian sejak semalam.
"Rena nggak kuat ada di jurusan itu terus. Tolong pahami kemampuan otak Renata, Ma ... Pa." Adu argumen di mulai, papa yang sedang menikmati sarapannya tertawa sinis.
"Yakin mau pindah jurusan? Ke jurusan apa? Sastra, Ekonomi, atau musik?" Papa mendadak seperti memberi izin. Renata tersenyum lebar, hatinya menjadi lega apalagi saat melihat wajah papanya yang seperti itu.
"Papa izinin Rena?!" pekiknya senang.
"Kalau memang itu mau kamu. Jurusan apa?" lanjut papa yang mendapat pelototan mama.
"Sastra. Sastra Inggris atau ... atau ... Ekonomi. Manajemen, Rena janji bisa lulus dengan predikat baik." Renata begitu bersemangat, tangannya bahkan sampai gemetar saat memegang sendok karena ia sedang sarapan nasi uduk buatan mamanya juga.
"Papa pegang janji kamu." Papa tersenyum.
"Pa! Kok gitu!" protes mama. Mereka saling beradu tatap, hingga papa menatap Renata lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir kopi dan cerita ✔
RomanceCerita bisa dimana saja, salah satunya saat kita menikmati secangkir kopi sambil berbicara dengan siapa pun yang ada di dekat kita. Bagaimana jika tanpa sengaja, cerita justru dijabarkan kepada seorang barista bernama Gentala, yang juga meneruskan...