Curhat dadakan

229 84 8
                                    

🍃Selamat membaca🍃

"Ice Green tea latte dan Hot Capucinno." Jemari Gentala meng-input pesanan pelanggan dengan menyentuh layar tipis meja kasir. "Atas nama?" Jemarinya diam sejenak, tatapannya ke arah pelanggan di hadapan.

"Bonita," jawab perempuan yang dari profesinya bisa Gentala tebak sebagai pramugari.

"Tujuh puluh delapan ribu," ujarnya lagi. Bonita memberikan kartu debet ke tangan Genta lalu lelaki itu memproses transaksi, setelah beres ia menyerahkan kartu dan meminta Bonita duduk.

"Thanks," ucap Bonita lalu menuju ke tempatnya.

Gentala segera membuat pesanan di bantu Yoga, tak butuh waktu lama karena dua minuman itu sudah tersaji di atas meja.

"Makasih, ya." Bonita meletakkan ponsel di atas meja saat bicara ke Gentala.

"Sama-sama," jawabnya datar. Bonita tersenyum tipis lalu menyedot iced green tea latte. Ia menatap keluar jendela, jalan raya tampak ramai dengan lalu lintas yang cukup padat.

Satu jam berlalu, hujan turun dan Bonita tampak lelah menunggu seseorang yang seharusnya datang. Ia menatap cangkir berisi capucinno yang sudah dingin dengan begitu sendu.

Ia mengusap layar ponsel, lalu menghubungi seseorang. "Kamu di mana? Aku udah di Koffein, dari satu jam lalu?"

Jawaban dari seseorang di seberang sana tampaknya membuat Bonita menahan rasa di dalam dada. Tangannya mengepal erat.

"Take your time, see you latter." Bonita menunduk, ia lalu menatap ke arah jalanan diluar yang macet. Pintu terbuka, Renata datang dengan pakaian sedikit basah karena kehujanan.

"Ren, sini," panggil Gentala.

"Apa, Ta?"

"Lo tolong tanyain ke Mbak di sana, capucinnonya mau diganti yang baru, nggak. Udah dingin nggak enak," bisik Gentala.

"Oke. Bentar, ya." Renata yang datang ke Koffein karena aji mumpung papa mamanya nggak ada, jadi ia bebas mau kemana saja dan Banu juga akan melindunginya jika orang tuanya bertanya, Banu akan jawab Renata di toko buku.

"Permisi, Mbak, maaf ... apa capucinnonya mau diganti yang baru. Udah dingin, nggak enak rasanya. Gratis, kok, Mbak." Renata begitu berhati-hati saat bertanya.

"Nggak perlu, makasih tawarannya. Saya nunggu hujan reda setelah itu pergi dari sini. Makasih, ya." Bonita tersenyum masam. Renata merasa jika perempuan itu tidak baik-baik saja. Dengan sedikit lancang mau tak mau ia bertanya lagi.

"Saya Renata, apa Mbak--"

"Bonita," jawabnya.

"Oh, ya, Mbak Bonita butuh seseorang untuk ngobrol atau--"

Bonita tertawa sambil menghapus jejak air mata di wajahnya. "Boleh kalau kamu nggak keberatan dengar ocehan saya."

"Mm ... sebentar saya pesan minuman dulu, maaf ya, Mbak, bukan lancang, saya cuma--"

"Saya paham, Renata. Its, Ok. Secangkir kopi dan cerita, itu sempurna."

Renata mengangguk, ia menghampiri Gentala lalu memesan coffee latte. Gentala ngedumel sendiri karena Renata kenapa menawarkan menjadi tempat curhat. Gadis itu menjelaskan, jika niat baiknya karena dirinya juga suka tertekan jika ada hal mengganjal di hati. Toh, niatnya tulus menolong perasaan orang lain yang terpendam supaya lega.

Gentala hanya menatap dengan ekspresi datar--seperti biasa, lalu meminta Renata duduk bersama Bonita sambil menunggu pesanannya di antar.

"Yakin kamu mau dengar cerita saya?" Bonita memastikan lebih dulu.

"Ya, walau saya baru kenal Mbak Bonita, sesama pengunjung Koffein, boleh lah saling cerita," ujar Renata gamblang.

Bonita tersenyum tipis, ia lalu melirik Renata. "Saya janji temu dengan pacar saya, pilot tempat saya kerja juga dan dia ..., ternyata lebih memilih pergi sama perempuan yang mau dijodohkan." Bonita menunduk. "Keluarganya nggak setuju dia sama saya, karena mereka menganggap saya pramugari yang 'seperti itu'. Biasa lah, karena kesalahan satu pramugari nakal, image buruknya ke semua pramugari." Bonita diam sejenak.

"Saya pacaran sama dia sudah setahun. Awalnya dia meyakinkan saya kalau memang kami akan ke arah serius, tapi nyatanya seperti ini. Kayaknya saya yang terlalu bucin jadinya bodoh." Bonita menggigit bibirnya lalu tertawa pelan, tapi air matanya tidak bisa membohongi kesedihan juga sakit hatinya.

Kopi pesanan Renata tiba di antar Yoga yang segera pergi kembali ke tempatnya.

"Saya ikut prihatin, Mbak. Mbak Bonita kenapa bertahan?" Renata penasaran juga.

"Itu tadi, sepertinya saya terlalu cinta sama dia jadinya saya, selalu terima apa pun alasan dia saat tidak bisa bertemu, dan jadinya ribut, tapi berakhir dia bikin saya luluh lagi." Bonita menghapus air matanya dengan tisu.

"Saya bingung, kalau memang dia nggak bisa sama saya, jangan menjanjikan banyak hal manis. Saya terlalu mudah percaya dan dia memang orang yang mampu bikin saya degdegan. Saya nggak mudah jatuh cinta. Bahkan saya sempat berpikir, akan rela jadi simpanan dia seandainya dia menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya."

Renata terbelalak. "Yah ... jangan, Mbak. Jangan rendahin harga diri kaum hawa dengan jadi simpanan. Mbak Bonita belum ketemu sama yang pas berarti. Maaf ya, Mbak, bukan mau menggurui, yang saya tau. Kalau cowok udah cinta sama cewek, pasti nggak mau menyakiti apalagi sampai bikin ceweknya sedih. Dia pasti akan menjaga banget, Mbak. Mbak Bonita cantik, saya yakin ada pilot lain yang suka sama Mbak. Putusin aja cowok Mbak itu. Belum nikah aja udah plin plan, gimana nanti ke depannya, Mbak."

Bonita tertegun, sejenak, sebelum tertawa. "Kamu udah pernah merasakan jatuh cinta yang dalam bahkan sampai hilang logika?"

Renata menggaruk pelipisnya. "Belum, sih, Mbak. Dasar manusia, ya, kadang kasih komentar tapi nggak berkaca ke diri sendiri." Renata tertawa. Bonita mengangguk, setuju dengan kata-kata Renata.

"Saya cuma mau dia tegas kasih jawaban, jadi saya nggak kayak gini. Rasanya nggak enak. Sudah dua minggu kami tidak bertemu. Niatnya sekarang, tapi dia malah nggak bisa."

"Tenang, Mbak. Sendirian itu terkadang nikmat, kok. Mbak Bonita mau request lagu? Bisa, kok. Saya nanti bilang ke ownernya, supaya lagunya diganti. Atau Mbak mau makan, koki di sini jago bikin makanan enak, Mbak."

"Siapa owner nya?"

"Tuh, yang rambutnya cepak itu. Namanya Gentala, masih sembilan belas tahun, tapi udah kelola bisnis ini. Kalau saya delapan belas tahun, dua bulan lalu, masih kuliah semester satu."

Bonita mengangguk lagi. "Pesankan saya makanan yang enak, saya jadi lapar setelah cerita ke kamu."

"Oke, Mbak, sebentar, ya." Renata beranjak, ia ke meja kasir lagi, berbicara dengan Gentala yang merekomendasikan beberapa menu. Bonita tertawa sendiri saat melihat raut wajah Renata saat beradu tatap dengan Gentala.

***

"Terima kasih sudah boleh cerita sama kamu. Makanannya juga enak, saya bayar dulu ke sana." tunjuk Bonita ke arah meja kasir.

"Sama-sama, Mbak, saya ke toilet dulu. Kebelet," lirih Renata lalu berlari cepat ke arah toilet. Bonita berdiri di meja kasir untuk melakukan pembayaran.

"Renata baik, kalian pacaran?" celetuk Bonita.

"Nggak, Mbak." Gentala menerima kartu debet dari tangan Bonita.

"Oh, kirain... padahal anaknya kelihatan tulus dan hatinya baik, seperti yang saya bilang tadi," tukas Bonita sambil memasukan kartu ke dompet.

"Kapan-kapan boleh saya kemari lagi? Sekedar duduk dan ngobrol?" Bonita menatap Gentala yang mengangguk. Renata selesai dengan urusan toilet lalu berdiri bersisian dengan Bonita.

"Aku pamit, ya, hujan juga sudah reda. Terima kasih, Renata. By the way, kalian cocok. Bye!" tunjuknya ke Gentala dan Renata. Bonita melambaikan tangan. Renata diam, ia tak berani menatap Gentala dan memilih duduk di tempat semula untuk menikmati kopi miliknya, pura-pura tak mendengar ucapan Bonita. Gentala sendiri diam, ia melanjutkan pekerjaannya tanpa mempedulikan ocehan Bonita tadi.

bersambung,

Gentala emang cuek, nggak peka, apa pura-pura?

Secangkir kopi dan cerita ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang