Melodi jemari

246 80 7
                                    

🍃 Selamat membaca 🍃

"Makasih, Ta," ucap Renata saat mereka keluar dari cafe.

"Sama-sama. Ayo pulang." Genta menyerahkan helm ke tangan Renata. Namun, kedua matanya menatap sosok ke arah gadis yang baru saja turun dari mobil. Sial! umpat Gentala dalam hati.

"Kenapa?" Renata menoleh ke belakang tapi wajahnya di bingkai Gentala dengan kedua tangan pemuda itu.

"Saatnya lo bantuin gue, Ren." Gentala berdiri merangkul bahu Renata. Feli berjalan ke arahnya dengan wajah muram.

"Genta, lo--" Feli diam.

"Kenapa cariin gue? Kata temen gue lo sibuk cari keberadaan gue?"

Feli tak menjawab, ia menatap garang ke Renata yang paham kondisi ini. Tangannya memeluk pinggang Genta.

"Siapa, dia, Yank?" Renata pintar mengikuti permainan Gentala.

"Temen. Oh iya, Fel, kenalin Renata, cewek gue."

Deg! Di dalam hatinya Renata berdebar sendiri. Ia pikir jika Gentala akan bilang dirinya gebetan, tapi ini... pacar!

"H-hai, gue Renata," ujar Renata sedikit gugup. Ia mengulurkan tangan tapi diacuhkan Feli yang melirik sinis lalu menatap tajam Gentala.

"Nggak usah bohong, Ta. Aku tau kamu sewa cewek ini buat panasin aku, 'kan? Sorry, aku nggak terpancing." Feli menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia melirik sejenak ke Renata yang menarik ke belakang tangannya lagi lalu mencoba terlihat tenang dengan memberikan senyuman. "Aku cari kamu karena besok, ulang tahun pernikahan Papa dan Mama, mereka minta kamu datang. Aku tadi udah kasih tau Om Panji dan Tante Rea juga, mereka nggak bisa hadir. Jadi ... aku berharap kamu hadir sebagai wakil mereka."

Gentala membekap mulutnya, ia tertawa pelan. "Aneh, lo." Lalu Gentala mengajak Renata pulang, sebelumnya ia memasangkan helm ke atas kepala gadis itu, sambil menggeleng pelan karena heran dengan sikap Feli, ia naik ke atas motor.

"Jangan berkhayal berlebihan, Fel. Lo udah tau pasti jawaban gue apa. Stop muncul mendadak di depan gue. You make me sick." sarkas Gentala dengan wajah jijik melihat Feli. Renata diam, terkejut mendengar Gentala bicara kasar walau bernada datar seperti tadi.

Renata diam, mereka sudah sepuluh menit berboncengan tapi tidak ada yang buka suara. Renata mengatur napasnya, lalu mulai bicara, tak tahan juga diam terus menerus.

"Lo jangan kayak gitu, kasar, Ta. Apalagi sama cewek," tegur Renata. Gentala menoleh sejenak sebelum kembali menatap lurus ke jalanan di depan.

"Lo nggak tau reseknya dia, sih, Ren. Gue udah tolak mentah-mentah dia, masih aja ngejar-ngejar. Cewek harus jaga harga diri, jangan kemurahan."

"Ya ampun. Itu lidah atau pisau, tajem amat?!" Renata terbelalak.

Gentala tersenyum sinis, lalu lanjut bicara. "Gue berusaha jujur. Feli ngejar gue udah tiga bulan ini, dan selama itu gue terus mikir gimana caranya dia berhenti, tapi nihil."

"Ya cari cewek, lah, Ta," usul Renata.

"Lo pikir gampang jatuh cinta. Gue  nggak semudah itu."

"Tapi mantan ada, 'kan?"

"Ada. Satu. Dulu. Dua tahun lalu."

"Kenapa bisa putus?" Renata kembali bertanya.

"Dia pindah ke Melbourne, orang tuanya tinggal di sana dan ya ... gue nggak bisa LDRan, jadi, selesai aja."

"Oh..., nggak coba nyambung lagi?"

"Nggak."

"Kenapa?" Suara bising kendaraan lalu lalang juga klakson tidak menyurutkan keduanya berbicara.

"Gue nggak yakin dia bisa terima kondisi gue sekarang. Dia tipe yang menjunjung tinggi pendidikan, sedangkan gue orang yang berpikir gimana cara cari uang. Gue mau settle di usia dua lima. Biar uang yang kerja buat gue, bukan gue yang kerja buat uang."

"Lo udah kaya, Ta. Nggak kerja juga uang lancar. Bokap lo bukan orang sembarangan. Jangan berambisi kejar duit. Gue rasa pendidikan juga penting." 

Gentala diam, tidak membalas ucapan Renata. Ia berbelok ke komplek perumahan elit tempat Renata tinggal. Tiba di depan rumah, ia segera memarkirkan motornya. Renata terus menatap Gentala yang diam.

"Lo marah sama gue? Apa ada kata-kata gue yang bikin lo--"

"Gue nggak ambisi cari uang. Gue realistis. Sebagai laki-laki gue butuh untuk memantaskan diri karena suatu hari bawa anak perempuan orang buat jadi pendamping hidup gue. Gue nggak mau bikin perempuan itu susah ikut cari uang, dia akan jadi pendamping hidup gue, bukan tulang punggung. Jadi, Renata ..., jangan bilang gue ambisi sama duit." Gentala selalu tegas jika sudah mengutarakan pendapatnya, Renata tersenyum kaku sambil memberikan helm ke tangan Gentala juga berterima kasih, setelah itu ia masuk ke dalam rumah dan Gentala meninggalkan rumah itu untuk pulang. 

Renata tidak mendapati kedua orang tuanya di rumah, Banu yang masih belum tidur memberi tau jika kedua orang tuanya sedang ke Bandung mendadak, karena ada urusan pekerjaan. Renata berjalan ke grand piano di bawah tangga, benda yang sudah lama tidak ia sentuh semenjak masuk kuliah. 

"Mau ngapain, Kak?" tegur Banu sambil mengecilkan volume televisi. 

"Ngelatih jari," jawab Renata. 

"Tumben. Kesambet apaan lo?" 

"Apaan, sih." Renata melirik sinis lalu mulai meletakkan jemarinya diatas tuts piano. Bunyi nada dari piano terdengar merdu, ia belum kehilangan kemampuannya bermain melodi yang indah dengan jemarinya. Banu meraih ponsel, ia iseng merekam kakaknya bermain piano juga bernyanyi. Banu tersenyum, kakaknya kembali menjadi dirinya sendiri setelah sekian lama menghilang. 

Renata mengcover beberapa lagu sekaligus, moodnya baik dan itu membuatnya lepas bernyanyi sambil memainkan piano. Banu ikut duduk di sebelah kakaknya lalu mereka duet bersama. 

Keduanya tertawa lalu Renata menyandarkan kepala di bahu sang adik. "Darah musik kita dari Kakek nggak akan hilang, Nu, cuma mati suri karena realita yang memaksa kita jadi seperti kedua orang tua kita." 

"Nggak akan, Kak, kalau kita bisa berontak. Kakak mau, nggak?" 

Renata mendesah. "Gue nggak yakin. Apa ini karena  terlalu terbiasa dengan semua kenyamanan?" 

"Iya, lah. Gue aja sadar, kok, kalau nggak bisa ikuti kemauan Mama Papa. Ya ... mungkin kalau sekolah bisnis, masih oke lah, tapi kalau gue dipaksa kuliah Akuntan? No way, gue milih kabur dan lepas semuanya. Orang tua kita butuh digertak sesekali. Kalau kita kompak, it so easy, Kak." Banu memang lebih santai menghadapi kedua orang tua mereka, tak seperti Renata yang terlalu banyak berpikir dan mempertimbangkan sesuatu hingga berakhir jalan di tempat. Ia tersenyum, lalu mengacak rambut adiknya. 

"Seenggaknya kita kompak sebagai Kakak Adik, dan paham satu sama lain." Renata beranjak, ia menuju ke dapur untuk mengambil minuman dingin. 

"Gimana ngedate sama Gentala? Sukses?" 

Pertanyaan Banu membuat Renata hampir saja tersedak minuman teh kotak miliknya. "Siapa yang ngedate? Gue cuma ke cafe dan ternyata di sana ads Ardhito! Lo bayangin, Nu, gue bahkan bisa foto bareng sama dia!" jerit Renata. 

"Kok bisa?" Banu berjalan ke sofa lalu duduk di sebelah kakaknya yang menunjukkan layar ponsel ke arah sang adik. 

"Panjang ceritanya. Intinya, ya, gue seneng banget malam ini. Gentala bikin mood gue baik. Bagus besok hari Sabtu dan libur kuliah, otak gue nggak ngebul. Bisa lakuin yang gue mau." 

Banu tertawa pelan. Ia tau dari tatapan mata kakaknya, ada perasaan lain tapi ia tak mau menebak, takut Renata tersinggung dan marah. "Be happy, Kak." Banu menyetel serial TV Walking dead, jumat malam mereka menjadi acara nonton zombie berdua hingga keduanya terlelap di ruang TV. 

bersambung, 

Haduh ... Gentala bikin saya maunya nulis cerita mereka terus, hahahaha ... mudah-mudahan nggak ada episode mandeg di tengah jalan, ya. 

Secangkir kopi dan cerita ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang