Diskalkulia

294 94 12
                                    

🍃Selamat membaca🍃

Renata menyelampirkan tas ransel ke bahu. Ia mendesah menahan kesal karena tetap saja tidak paham materi kuliah seharian itu. Jika dihitung dengan angka, paling hanya empat puluh persen.

Kakinya melangkah ke arah perpustakaan, baru masuk tahun awal kuliah rasanya otak dan tubuhnya sudah ingin menyerah.

"Pak, mau balikin buku," ucapnya pada petugas perpus.

"Kartu mahasiswa," pinta petugas tadi. Renata memberikan lalu petugas menempelkan pada alat yang terpasang di dinding sebagai absen setiap orang yang masuk dan keluar nantinya.

"Udah tau caranya kalau mau pinjam dan kembalikan buku, 'kan?"

"Tau, Pak. Permisi," pamitnya. Ia masuk ke dalam ruangan kaca dengan pendingin yang begitu sejuk, berjajar banyak rak dengan buku yang semua tertata rapi. "Keren sih, kampus dan semua fasilitasnya, tapi kenapa gue harus masuk sipil, sih?! Argh!" Renata ngedumel sendiri. Ia mencari rak buku yang akan dikembalikan, berganti buku lainnya. Renata mampu saja membeli buku, tapi rasanya percuma, untuk apa juga.

Selesai dari perpustakaan, ia segera pulang. Di parkiran sudah ada mobil Banu yang menjemputnya. Dengan langkah gontai ia berjalan mendekat kemudian membuka pintu, segera masuk duduk bersandar dengan rasa malas.

"Nu, gue bego apa kenapa, sih, ya?!" kesal Renata.

"Lo pinter, Kak, cuma salah masuk jurusan." Banu melajukan mobil ke arah rumah mereka di komplek elit daerah Jakarta.

"Gue mau pindah jurusan, deh. Boleh nggak, ya? Setiap hari gue kayak parno mau ke kampus, dari malam nggak bisa tidur buat hadapin mata kuliah besoknya."

"Yah ... Kak, lo tau sendiri jawaban Papa Mama apa. Kalau lo bisa tahan mental sih, nggak apa-apa."

"Lo gimana, masih sanggup masuk IPS disaat lo mau masuk jurusan Bahasa?"

Banu tertawa. "Gue cowok, perkara masa depan gue yang atur. Sekarang ikutin aja maunya Papa Mama. Nanti kalau kuliah, gue mau jurusan yang sesuai minat gue."

"Tetap masuk negeri?" toleh Renata.

"Iya. Itu juga kalau nyangkut. Kalau nggak ya swasta, kayak elo."

"Saingan masuk negeri banyak banget, Nu. Lo tau perjuangan gue, 'kan? Les apa pun kayaknya sia-sia," keluh Renata yang kesal sendiri jika mengingat saat ia SMA beberapa waktu lalu.

"Ya coba aja dulu, Kak." Banu memang seoptimis itu orangnya, semua serba dicoba walau hasilnya tak sesuai ya sudah, dibawa santai.

Tiba di rumah, mereka melangkah bersama masuk ke bangunan dua lantai yang sangat luas bergaya Eropa klasik. Papa dan mama keduanya memiliki usaha properti juga kelapa sawit turun temurun dari keluarga kedua belah pihak. Sudah terbiasa hidup dengan keadaan nyaman juga bergelimang harta juga berbagai fasilitas mumpuni.

Renata meniti anak tangga dengan hati penuh ragu, ia ingin membahas tentang kuliahnya, tapi mama sepertinya sedang tidak bisa diajak diskusi, terlihat wanita itu baru saja pulang bekerja tapi kemudian lanjut mengerjakan kepekerjaan lain terkait bisnisnya.

"Renata," panggil mama yang membuat langkah kaki gadis itu terhenti. Ia menoleh, menatap mama yang duduk di meja makan dengan laptop terbuka di hadapan. "Ke sini sebentar," lanjutnya. Renata menuruni anak tangga, sebelumnya ia letakkan tas di atas sofa ruang TV.

Secangkir kopi dan cerita ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang