"Hai, Sabine," Randy menyapa dengan nada yang sedikit persuasif dan mata yang terkesan sangat perhatian saat ia kebetulan punya urusan di bagian administrasi. "Cantik sekali hari ini."
Sabine tersenyum simpul; agak berat tapi siapa yang akan menyukai wajah cemberut pagi-pagi begini. "Kemarin-kemarin aku tidak cantik?" balasnya.
Randy terkikih. "Bukan...," kata dia cengengesan lalu kembali menghadap ke komputernya tapi dia masih melirik Sabine dan terlihat penasaran. "Tapi... coba saja kalau aku sedikit lebih tampan, aku pasti punya keberanian untuk mendekati kamu."
Sabine mengerutkan dahinya.
"Ehm...," celetuk Maika di sebelah Sabine yang ikut mendengarkan rayuan gombal Randy. Ia juga baru datang.
Randy melirik Maika sinis. "Tapi, aku sadar diri. Untuk gadis yang sertifikat kelas etiket-nya lengkap, aku terlalu tidak sopan untuk kamu," sambung Randy mengabaikan Maika. " Kamu bisa tiga bahasa asing, sedangkan Bahasa Indonesia-ku saja sering patah-patah. Apalagi Inggris, Prancis, Mandarin pula. Kamu tidak cocok dengan pekerjaan ini. Seharusnya kamu jadi artis atau model, Sabine."
Candaan Randy cukup menghiburnya di hari yang hampir suram sebelum keseharian yang membosankan di depan komputer dengan banyaknya file yang harus dirapikan dan disatukan. Meski hampir sulit untuk berkonsentrasi untuk menuntaskan beberapa berkas sebagai laporan untuk hari ini.
Perhatiannya teralihkan oleh bunyi notifikasi dan pop up email yang muncul di kanan bawah layar komputer. Ada email baru dari Vincent, Manajer HRD. Ia langsung membukanya karena mengira itu penyesuaian kontrak kerja yang baru; tapi email itu ternyata berisi link pendaftaran beberapa universitas yang punya kelas malam. Sabine jadi ingat bahwa untuk bisa terus bekerja di Athlon dan punya jenjang karir yang bagus ia harus melanjutkan sekolah karena ini akan dijadikan catatan khusus untuk perpanjangan kontrak selanjutnya.
Tapi, ia punya firasat tidak akan bekerja di sini lebih lama. Pekerjaan kantoran sama sekali tidak cocok untuknya. Sabine mulai mempertimbangkan hal lain yang bisa ia lakukan begitu ia mantap untuk berhenti dari pekerjaan ini. Ia mulai benar-benar memangkas pengeluarannya untuk mengumpulkan uang lebih cepat dan bertahan hidup sementara sampai mendapatkan pekerjaan yang baru.
Namun saat Sabine berusaha memusatkan perhatiannya untuk lembar kosong di layar komputer yang harus diketik, ia mendengar Maika bersuara. Teman sebelahnya itu baru saja dibisiki sesuatu oleh orang di sebelahnya. Tampaknya ada sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Masa iya?" tanya Maika dengan mata membelalak. "Serius?"
Perempuan di sebelahnya itu mengangguk-angguk dengan yakin lalu berbisik lagi. Tampaknya ada sebuah berita yang kurang menyenangkan yang baru saja beredar di kalangan pegawai.
Sabine memperhatikan sekitarnya; tampaknya situasi sedikit gaduh karena tidak hanya Maika dan perempuan di sebelahnya yang berbisik-bisik.
Di sudut lain Sabine juga menemukan sekelompok orang yang juga saling berbisik.
Ada apa ini?
Sabine mulai berpikiran buruk.
"Ada apa?" tanya Sabine pada Maika yang sudah berhenti berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya.
Maika sedikit mendongak kepadanya dan membisikan sesuatu; ini mirip seperti permainan pesan berantai di mana semua orang saling menyampaikan informasi dengan berbisik dan bicara dengan sangat pelan.
"Di atas sedang ada ribut-ribut antara bos dan Laura," jawab Maika. "Mereka bertengkar hebat sampai Laura menangis histeris dan berteriak seperti orang gila."
Jantungnya seakan ingin melompat keluar bukan karena terkejut. Pikiran buruk mulai berkelebat di kepalanya. Pasti gara-gara kejadian malam itu. Kedua tangan Sabine mulai gemetaran. Ia tidak bisa tenang.
Semua ini gara-gara dirinya.
Dan tak perlu waktu lama untuk membuktikan ketakutannya, Sabine yang mencoba untuk tetap tenang akhirnya melihat Laura datang.
Wanita itu membuat semua perhatian tertuju padanya begitu ia turun dari elevator dengan wajah kusut dan mata sembab. Ia melangkah dengan cepat dan emosional tepat ke arah Sabine yang mau tidak mau harus kembali menerima hujatan setelah ini.
"Laura!"
Kellan yang melihatnya langsung saja menyambar lengan wanita itu dan menyeretnya pergi.
"Jangan mempermalukan diri kamu sendiri," kata Kellan membentak dengan suara yang amat kecil. "Sudah cukup...."
Tangis kembali pecah saat ia melihat sahabatnya itu lalu dengan patuh mengikutinya. Dengan cepat Kellan segera membawanya turun.
Sabine yang tidak menyangka dirinya terselamatkan begitu saja masih syok. Untung tidak ada satu pun yang menyadari bahwa Laura hendak menghampiri dirinya. Dan jika saja Kellan tidak langsung membawanya pergi, mungkin saja masalah besar akan kembali menimpanya. Sabine tidak siap untuk dipermalukan lagi.
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.
Jangan lupa VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : NOTHING IN BETWEEN
Romance[21+] "Segala hal hanya terlihat indah ketika kita menginginkannya. Tapi begitu kita memilikinya kita harus mengorbankan apa yang telah kita dapatkan sebelumnya dan kadang... yang hilang bisa saja jauh lebih berharga dari apa yang kita inginkan itu...