"Sirkus?" Randy cukup terkejut saat Leon menaruh empat lembar tiket sirkus di atas meja. "Dari mana kamu dapat tiket sebanyak ini?"
"Aku membelinya untuk pergi menonton bersama adik-adikku dan Salma tapi ternyata mereka sudah pergi beberapa hari yang lalu," jelas Leon. "Dan mereka tidak mau menontonnya lagi."
"Jadi kamu ditinggalkan begitu saja?" balas Maika sambil menertawai Leon yang hanya menatap dengan lesu. "Aku heran dengan adik-adikmu. Mereka lupa ingatan soal siapa kakak mereka yang sebenarnya."
Leon hanya mendengus sambil tetap makan; begitu pula dengan Sabine yang juga sedang menikmati makan siangnya yang tak terlalu enak di mulutnya. Tapi merasakan kenormalan ini adalah sesuatu yang langka; akhirnya ia mempunyai sebuah pergaulan yang wajar di kantor meski orang-orang masih mencibir dan kadang ikut berbicara buruk tentang teman-teman barunya. Akan tetapi ketiga orang ini tidak peduli dan bahkan ketika mereka muak, mereka bisa membalas dengan ucapan yang lebih menohok.
"Salma siapa?" tanya Sabine; mencoba untuk terlibat obrolan mereka.
"Pacarnya," jawab Maika. "Dan sebagai informasi yang cukup penting, mereka sudah lamaran dan akan segera menikah."
"Hah? Benarkah?" Sabine ikut senang dan melirik Leo yang hanya mengangguk-angguk dengan sedikit malu. "Wah, kalau begitu selamat, Yon...."
Leon hanya mengangguk-angguk. "Terima kasih, Sabine...," ucapnya agak canggung.
"Jadi ceritanya, Leon punya dua orang adik perempuan yang lebih dekat dengan pacarnya daripada dia sendiri," Maika meledek Leon lagi.
"Itu pasti seru," komentar Sabine; seketika juga teringat pada adik-adiknya –mereka bertiga berbeda satu sama lain, akan tetapi sangat kompak untuk banyak hal.
"Dan ketiganya punya hobi yang sama. Mengabiskan uang Leon setiap hari gajian," sambung Maika sambil cekikikan lagi. "Tapi, tidak apa-apa. Dibandingkan kita, gaji Leon lebih banyak."
"Ya, tentu saja. Kita berbeda kasta dengan asisten eksekutif Chief HR," sambung Randy ikut meledek.
"Hentikan" Leon mulai gusar pada mereka dan langsung mengumpulkan tiket sirkusnya dari atas meja. "Kalau kalian bicara macam-macam, aku akan memberikan tiketnya pada orang lain."
Tapi, dengan cepat Maika merampas selembar sebelum Leon benar-benar mengumpulkan semuanya. "Jangan mudah tersinggung," ujarnya, tersenyum cengingisan. "Jadi kapan kita pergi?"
"Hari Sabtu kalau memungkinkan," jawab Leon kemudian membagikan sisa tiketnya untuk Randy dan Sabine. "Sebentar lagi musimnya berakhir."
Sabine menerimanya dengan senang hati; ia tersenyum.
"Tapi, kalau kamu mengajak Maika juga, siap-siap saja. Kamu bisa lebih bangkrut," ledek Randy lagi; kali ini menyindir Maika di sebelahnya.
Maika memutar matanya. "Tentu saja. Yang mengajak pergi harus bertanggungjawab untuk semuanya," balas Maika seenaknya. "Aku tidak akan munafik. Lagipula Leon memang tidak pernah pelit. Berbeda dengan kamu."
"Dengar ya, aku bukan pelit. Aku lebih suka mengeluarkan uangku untuk sesuatu yang lebih berguna," balas Randy. "Kamu membuatku rugi besar untuk sesuatu yang sia-sia. Kamu bisa makan banyak dan bertambah gendut setiap harinya. Tapi, uangku hilang tak berbekas."
"Kamu memang pelit!"
"Kenapa kalian malah bertengkar?" gumam Leon menggerutu.
Saat mereka kembali ke ruangan masing-masing setelah istirahat selesai, Miaka dan Randy masih berdebat sepanjang jalan. Satu hari lagi berlalu dengan tenang.
Jam tujuh malam Sabine tiba di apartemen dengan 'selamat'. Tapi, saat hendak membuka pintu, rasa khawatir tiba-tiba timbul. Bisa saja Harish sudah berada di dalam bukan? Dia punya kuncinya dan pernah masuk tanpa izin sebelumnya. Malam ketika Sabine meninggalkannya di hotel setelah Laura pergi, lelaki itu tampak tidak terima dengan keputusannya.
Namun, saat ia masuk, rumahnya benar-benar kosong. Keadaannya masih sama dengan saat ia meninggalkannya tadi pagi; sangat berantakan. Dengan sampah dalam plastik yang belum sempat dibuang dan pakaian dan handuk bekas yang masih tersandar di sofa. Sabine baru merasa lega setelah masuk ke kamar dan langsung duduk di sisi ranjang. Sambil meregangkan tangan dan kaki, ia menggeliat kemudian menyatukan punggung dengan permukaan ranjang yang empuk.
Dirinya akan tertidur nyenyak malam ini. Ia bersyukur hari ini tidak menemukan Harish yang menunggunya dengan wajah masam lalu menuntut penjelasan mengapa ia menghindarinya. Akan tetapi... entah mengapa ia merasa sedikit sedih. Sabine menyalakan kembali handphone, mengira pasti akan ada pesan masuk darinya. Tapi, tak ada apa-apa.
Bukankah ia yang meminta agar Harish menjauhinya dan membiarkannya hidup dengan tenang?
Atau ia hanya belum terbiasa dengan ini; karena mereka selalu bersama sampai Sabine jarang pulang ke apartemennya sendiri dan handphone-nya selalu berbunyi.
Sabine mendengus lelah; menatap kosong langit-langit kamarnya saat ia berbaring dan mencoba untuk tertidur.
Inilah yang aku inginkan.
***
Reminder:
Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)
Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.
Jangan lupa FOLLOW, VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks
KAMU SEDANG MEMBACA
MY EVIL BOSS : NOTHING IN BETWEEN
Romance[21+] "Segala hal hanya terlihat indah ketika kita menginginkannya. Tapi begitu kita memilikinya kita harus mengorbankan apa yang telah kita dapatkan sebelumnya dan kadang... yang hilang bisa saja jauh lebih berharga dari apa yang kita inginkan itu...