Ch. 95 - UPPER HANDS

33 4 0
                                    

Entah untuk ke berapa kalinya sejak pagi, Sabine mendengus sambil melirik jam dinding; mereka lama sekali, pikirnya gelisah. Dia sudah menunggu hampir satu jam. Sabine memandangi tangannya yang berada di atas mouse komputer –masih terlihat gemetaran.

Namun bukan itu masalahnya sekarang, ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan apa yang sedang ia kerjakan sembari menunggu. Sabine menatap layar komputernya yang menampilkan surat yang harus diketik sebagai pengalihan dari kecemasannya. Ia kembali menaruh jari-jarinya di keyboard tapi lagi-lagi menarik nafas panjang; saat itulah Laura keluar dari ruangannya bersama dua orang staf.

Mungkin inilah kesempatannya.

Ia langsung berdiri dan mengambil berkas di atas mejanya. Melangkah dengan tenang ke arah Laura yang langsung masuk ke ruangannya setelah dua orang staf tadi pergi.

Menarik nafas panjang, Sabine memberanikan diri mengetuk pintu ruangan Laura yang baru tertutup di depan wajahnya.

"Masuk," perintah Laura dari dalam.

Sabine terkesiap dan langsung masuk; berharap ia terlihat tenang.

Laura yang baru saja akan kembali ke kursinya menoleh; dan cukup terkejut menemukan Sabine di ruangannya. "Hei," sapanya dengan tenang; ramah namun tetap membuat Sabine cukup tertekan.

"Saya... ingin menyerahkan RAB untuk bulan ini, Bu Laura...," kata Sabine ragu-ragu. "Yang ini... sudah disetujui oleh manajer sebelumnya...."

"Oh," balas wanita itu dan kemudian duduk di kursinya.

Sabine menaruh berkas yang dimaksudnya di atas meja dan tak sedikit pun mau menatap wanita itu.

"Baik, nanti akan saya tanda tangan," kata wanita itu tenang sekaligus angkuh; tapi matanya masih memperhatikan Sabine dari ujung kaki ke ujung kepala.

"Kalau begitu... saya permisi," Sabine berpamitan.

Tugas 'sulit' itu akhirnya selesai.

"Tunggu," panggil Laura tiba-tiba.

Sabine yang belum sempat bernafas lega, memejamkan matanya dengan pasrah.

"Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu yang lain lagi?" tanya wanita itu tiba-tiba.

"Ma...maksudnya?" balas Sabine, berusaha untuk langsung menatap wajah Laura yang angkuh tapi ia masih tak berani.

Bagaimana pun ia harus menghindari masalah dengan wanita ini. Gosip saja sudah membuat hidupnya porak poranda. Apalagi jika wanita ini sampai membeberkan semuanya.

"Jangan khawatir," Laura berujar tiba-tiba. "Saya tidak akan mengatakannya pada siapa pun."

Sabine menatap senyum sarkas di wajah Laura yang masih terlihat angkuh; kata-kata Laura terdengar seperti sindiran halus.

"Lagipula saya juga tidak ingin Harish juga kesulitan," sambung dia. "Saya tidak ingin mempertaruhkan hal yang lebih penting daripada hubungan kalian yang sepertinya akan berakhir... atau... sebenarnya sudah berakhir?"

"Saya tidak ingin membicarakannya," kata Sabine, ia terdengar cukup tegas.

Tujuannya mempersiapkan diri untuk masuk ke sini, hanya untuk mendapatkan tanda tangannya. Bukan membahas urusan pribadi apalagi mendengarkan curahan hatinya yang kecewa atas apa yang terjadi sebelumnya.

Laura tertawa. "Kenapa? Semuanya tidak berjalan sesuai yang kamu harapkan?" ledek Laura.

Sabine diam, tapi kali ini ia mulai berani menatap wanita itu langsung ke matanya dan melihatnya tertawa penuh kemenangan.

"Pantas wajah kamu begitu tertekan akhir-akhir ini," ledeknya lagi.

"Yang... saya harapkan?" tanya Sabine kemudian. "Memangnya apa yang saya harapkan?"

"Kamu masih berpura-pura lugu?"

Entah mengapa emosinya mulai mudah tersulut. Ia tak menyangka Laura malah membuatnya emosi. Sabine pikir setelah memberikan berkas untuk ditanda tangan, wanita itu paling-paling hanya menyindirnya dan ia akan diam demi menghindari masalah.

"Saya rasa Bu Laura tahu ada perbedaan yang jelas antara lugu atau memang tidak tahu apa-apa," tandas Sabine. "Kalau Bu Laura mau tahu apa yang sebenarnya saya harapkan saat ini, saya akan mengatakannya. Saya hanya ingin bekerja dengan benar karena kalau saya bisa memilih, saya juga tidak ingin berada di sini lagi."

Sampai detik ini, Harish masih menangguhkan pengunduran dirinya secara sepihak.

"Kamu unik juga," puji Laura dengan sinis. "Kamu sendiri yang mulai dan kamu sendiri jugalah yang merasa jadi korban sekarang."

"Memang. Saya memang korban dari awal dan bahkan lebih buruk dari itu. Tapi, bukankah saya juga sudah menghindar karena saya cukup tahu diri?" balas Sabine, suaranya mulai lantang walaupun jantungnya berdebar keras dan lututnya gemetar. "Kalau Bu Laura masih belum puas. Masalahnya bukan saya."

Seharusnya Laura bicara dengan Harish dan meminta pria itu mencabut penangguhan pengunduran dirinya kalau memang wanita itu tidak menyukainya.

"Kalau kamu cukup tahu diri seharusnya kamu tidak berbicara seperti itu di depan saya," tandas Laura terbawa emosi oleh perlawanan Sabine yang diluar dugaan. "Kamu mulai menikmati peran kamu di sini karena kamu tahu dia bisa saja menyingkirkan siapa pun yang mengganggu kamu?"

Sabine terkikih; terdengar meledek Laura. "Jangan bicara seolah saya yang menginginkan hal-hal semacam itu...," gumamnya.

"Jangan munafik, Sabine," balas Laura seakan ingin menghampirinya dan menarik rambutnya. "Untuk apa kamu tidur dengannya kalau kamu tidak ingin membalikan keadaan?"

"Kenapa saya harus menjawab pertanyaan semacam itu?" tandas Sabine tak kalah beraninya. "Kalau Bu Laura mau, saya bisa menghormati Bu Laura selayaknya atasan jika Ibu tidak menanyakan urusan pribadi saya. Tapi, saya bisa bereaksi berbeda jika Ibu tidak mengerti batas."

"Batas? Siapa yang sebenarnya melewati batas di sini?" sindir Laura lagi.

"Begini saja, kalau Bu Laura tidak menyukai saya, kenapa Bu Laura tidak bicara dengannya saja? Minta dia untuk melepaskan saya dari tempat ini," tantang Sabine.

Laura terhenyak. Gadis itu menyerang tepat ke jantungnya dengan sebuah alasan yang benar-benar kuat. Mengingat seberapa obsesifnya Harish terhadap gadis itu, tentu saja Harish tidak akan melepaskannya. Bahkan jika semua orang tahu dengan skandal hubungan mereka pun, Harish akan pasang badan demi gadis itu.

"Dengan begitu saya bisa segera pergi dari tempat sialan ini," kata Sabine lagi untuk yang terakhir kalinya. "Saya permisi dulu."

Sabine pun segera meninggalkan ruangan wanita itu.

Reminder:

Kalian bisa baca semua novelku di blog untuk pengalaman membaca tanpa iklan video wattpad yang terlalu lama saat peralihan chapter. (LINK BLOG ADA DI PROFIL -tinggal klik aja)

Update chapter di blog lebih cepat karena aku mempunyai lebih banyak pembaca di sana.

Jangan lupa FOLLOW, VOTE dan COMMENT nya untuk bantu cerita ini naik ya. Dukungan kalian sangat berarti, sekecil apa pun itu. Thanks

MY EVIL BOSS : NOTHING IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang