꒰🌺꒱ 20 :: Daily.

334 62 10
                                    

“Kau mengabaikan pekerjaanmu, Satoru?”

Seorang pria tinggi berdiri di hadapan lelaki berkulit hitam. Posturnya santai, terbukti dari kedua tangan yang masuk ke saku baju, dan ia agak membungkuk. Area mata terbalut kain hitam hingga membuat rambutnya berdiri melawan gravitasi.

“Aku tidak mengabaikannya. Bukankah misi itu kulempar pada anak kelas satu?” jawab pria berambut putih ini dengan nada pongah.

“Justru itu yang jadi masalah?!” kata lelaki berkulit hitam itu marah.

Gojo berdeham panjang mendengar tutur Yaga. Kemudian menyungging senyum miring yang menyebalkan. Ia berkata, “Tapi setelah misi itu, mereka jadi lebih kuat, 'kan?”

Yaga bungkam. Ingin rasanya membalas perkataan pria itu. Namun, apa yang diucapkan Gojo adalah kenyataan. Hingga akhirnya ia menghela napas demi mereda kemarahan.

“Ini bukan pertama kalinya kau begitu, bukan?” tanya Yaga dengan nada lelah.

“Kalian membuatku sibuk sampai aku jarang punya waktu luang, lho?” Gojo bersandar pada pilar besar di sampingnya. “Jadi? Kau memanggilku hanya untuk marah-marah?”

“Kau tak lihat? Aku tidak jadi marah.”

“Tapi kau punya niat buat ngomel, 'kan?” Gojo mengembangkan senyum.

“Sudahlah. Cukup sampai di situ. Kau pergi saja, kembali ke asramamu.” Yaga tak bisa lagi menghadapi Gojo. Jika terus berlanjut, ia bisa darah tinggi.

“Heee.” Gojo berbalik, melangkah santai meninggalkan ruangan.

“Oh, ya. Omong-omong.”

“Hm?” Gojo berbalik.

“Kau masih memakai gelang itu, Satoru?” tanya Yaga.

Gojo bungkam. Lantas memutar tubuhnya hingga membelakangi Yaga. “Kau ingin aku mengingat kenangan buruk itu?” Dia beranjak pergi. Kali ini langkahnya sedikit lebih cepat agar dia bisa meninggalkan ruangan itu segera.

Yaga menghela napas panjang. “Aku salah bicara, ya? Padahal ... itu sudah lewat sebelas tahun lalu.”

Gojo berhenti melangkah tepat di depan pintu yang baru saja tertutup. Ekspresi wajah berubah datar, berbeda dengan raut sebelumnya. Itu karena topik akhir tadi. Salah satu hal yang cukup sensitif baginya.

Tangan kanan pria itu keluar dari saku, sekaligus menggenggam sesuatu. Telapaknya terbuka, menunjukkan gelang dengan gantungan cokelat.

“Aku masih menyimpannya, sih,” kata Gojo dengan nada dongkol. “Padahal mungkin lebih bagus kalau aku membiarkannya.”

Sudah sebelas tahun berlalu.

Ia meremas gelang itu, kemudian kembali menaruhnya dalam saku. Lantas melanjutkan langkah.

꒰❄️꒱

“Ada yang bilang, waktu akan terasa lebih lama jika ditunggu. Kupikir itu benar, karena terjadi padaku sekarang.”

“Sudah nggak sabar, ya?”

[Name] menghela napas. Kemudian bersedekap, bersandar dengan santai sambil menatap sepiring kue cokelat di meja. Keningnya agak mengernyit. Sesekali ia melirik jam. Masih pukul dua siang.

Satu hari belum berlalu. Ia harus menunggu besok dan besoknya lagi. Namun, hari ini waktu berjalan lambat, dan itu membuat ia jadi tak sabar hingga lama-kelamaan merasa sedikit kesal.

“Apa ada cara agar aku bisa merasa waktu cepat berlalu?” Ia mengapit dagu.

“Belanja? Bekerja seperti workaholic¹? Jalan-jalan menikmati alam? Baca buku? Tidur?” usul Haruto. Lalu menyuap satu sendok kue cokelat ke mulut.

The Pursuit of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang