11. The breeze

424 35 2
                                    

Nichi yang baru selesai bersiap itu beranjak menuju pintu rumah karena adanya ketukan. Nichi melihat tampilan Apollo yang santai, berbeda dari biasanya ketika ia membuka pintu.

Celana pendek hitam dan kaos navy serta sneakers menjadi tampilan Apollo hari ini. Kacamata hitam yang dipakainya sudah dilepasnya dan digantung pada kerah bajunya.

“Hai,” sapa Apollo ceria. Nichi mengangguk. “Masuk.”

Keduanya lantas masuk ke dalam rumah. Nichi meninggalkan Apollo dan masuk ke dalam kamarnya. Ia lupa belum mengikat rambutnya jadi dengan cepat ia menyisir dan mengikat rambut. Tak sampai lima menit, Nichi sudah keluar kamar sambil memakai waist bag .

“Gue siapin cemilan buat kita di jalan. Bentar gue ambil dulu. Tadi ke sini macet nggak?” Nichi dengan cekatan merapikan dua jenis kotak makan lalu menaruhnya di tas.

“Lumayan macet sih,” jawab Apollo. Ia duduk di ruang tamu sambil memerhatikan Nichi yang kini sedang membuka lemari es, terlihat mengeluarkan sesuatu.

Nichi tidak menyahuti lagi. Ia sibuk dengan bekal makanannya. Dirasa sebuah sudah rapi dan siap Nichi menentengnya. Ia berdiri di depan Apollo.

“Yuk.”

Apollo mengangguk dan langsung berdiri. Pria itu keluar terlebih dulu karena Nichi harus mengunci pintu dan pagar rumahnya.

Nichi memasang sabuk keselamatannya setelah masuk dalam mobil. Lalu tak lama kemudian mobil melaju bergabung bersama kendaraan yang lain di jalan.

Suasana di mobil tidak sesepi itu karena ada lagu yang terputar dengan volume rendah. Nichi memandang gedung-gedung atau kendaraan yang dilewati. Tak ada satu pun dari mereka yang berbicara.

Karena tidak ada pembicaraan di antara mereka Nichi memilih membuka kotak makan yang dipegangnya dari tadi. Beberapa jenis buah yang sudah dipotong kecil-kecil ada di dalamnya. Menggunakan garpu kecil Nichi memakan buah-buahan itu satu per satu.

Apollo yang fokus menyetir melihat Nichi yang sedang menyemil buah. Ia tersenyum kecil dan kembali fokus menyetir.

Nichi memakan buahnya sambil sesekali ikut bersenandung dengan lagu yang diputar, jika ia tahu lagunya. Matanya pun lebih banyak melihat keluar dibanding melihat Apollo. Suasana ini terasa aneh baginya tapi nyaman. Sepotong apel masuk ke dalam mulutnya. Nichi melirik Apollo yang diam lalu menatap kotak makan di pangkuannya.

“Po.”

Apollo menoleh sekilas. “Hmm?”

Nichi menyodorkan sepotong melon ke depan mulut Apollo. “Aaa..”

Apollo melirik Nichi sebelum kemudian membuka mulutnya, menerima suapan itu.

“Manis.”

“Iya ‘kan? Gue cuma beli satu buah. Harusnya kemarin beli dua. Manis banget padahal,” ujar Nichi. Ia kembali memberi Apollo buah, kini anggur yang disodorkan dan langsung dilahap Apollo.

“Lo lebih seneng ke pantai apa gunung?” Apollo mencoba membuka percakapan yang diterima Nichi.

“Eumm.... Nggak tau. Tergantung suasana hati gue. Kalo gue lagi seneng dan pengen jalan ke pantai, cuma kalo lagi stres ke gunung.” Nichi menjawab setelah selesai mengunyah anggur.

Sambil mengobrol tangan Nichi terus bergerak menyuapi Apollo dengan buah yang diterima oleh lelaki itu. “Tapi selain pantai sama gunung lo ke mana lagi?”

“Ke tempat Reyna, ke rumah kakak-kakak gue, ke rumah orang tua gue, ke taman hiburan, ke taman bunga, ke luar kota, kulineran, keliling kota nggak jelas, ke museum, macem-macem sih. Sekali lagi. Tergantung mood gue.”

Little Things [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang