Berdiri, duduk, jongkok, lari di tempat sudah dilakukan Nichi tapi ia belum menemukan erornya di mana. Matanya sudah berjam-jam menatap layar monitor tapi tidak ada hasil. Matanya sudah terasa letih.
Posisinya yang tadi duduk kini berubah berjongkok di atas kursi. Dengan lekat matanya mencari sumber erornya. Sebelum suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya.
“Anjing! Siapa sih!” Makinya dengan keras.
Ia langsung turun dari kursi dan melihat Apollo di depan rumahnya yang menatapnya dengan cengiran kecil.
“Ngapain lo ke sini?!” Dengan ketus Nichi berkata. Ia bahkan berdiri di depan pintu dan menghalangi Apollo agar tidak masuk rumah.
“Main. Bawa makanan juga.” Apollo mengangkat sebuah tas eco-friendly berwarna hitam.
Nichi berdecak keras. “Mending lo pulang. Gue lagi sibuk.”
Bukannya menurut, pria itu tetap di tempatnya sambil menatap Nichi lekat. “Makan dulu yuk, baru lo boleh usir gue.”
Nichi tentu tidak luluh. Ia benar-benar lagi stres sekarang, pekerjaannya harus diselesaikan.
“Jangan buat gue mengulanginya. Lo pulang.” Nichi menekan dua kata terakhir dengan tegas.
“Chi. Mata lo keliatan merah, muka lo juga lesu. Gue nggak mungkin pergi karna liat lo yang kayak gini. Gue janji. Gue temenin lo makan sampe selesai baru gue pulang. Lo perlu energi.”
Nichi memandang Apollo yang menatapnya lembut. Setiap perkataannya pun penuh perhatian dan ia mengatakannya dengan pelan, membuat Nichi paham. Yang dikatakan pria di hadapannya ini benar. Ia perlu energi, perlu makan karena sedari siang ia belum makan apa pun selain minum air. Nichi lalu mengangguk.
“Ya udah. Masuk.”
Nichi beranjak dari depan pintu dan berjalan masuk rumah diikuti Apollo di belakangnya. Seperti biasa, Apollo langsung menuju dapur. Ia mencuci kedua tangannya sampai bersih lalu dengan cekatan mengeluarkan satu kotak makan dan sebuah botol jus.
Nichi hanya memerhatikan dari seberang meja sebelum kemudian menarik bangku dan duduk.
Apollo tersenyum menatap Nichi. Ia membuka kotak makan itu. Tangannya meraih sendok dan garpu dari laci meja. Kemudian mengambil piring dari salah satu kabinet yang ada, juga sebuah mug besar.
Nichi melihat itu semua dalam diam. Apollo sudah hapal semua letak perabot dapurnya. Pria itu memindahkan makanan ke dalam piring, menyisihkan lauknya ke pinggir piring. Jus dari botol sedang itu juga sudah berpindah ke mug.
“Makan.” Apollo mendorong piring dan gelas ke hadapan Nichi. Semua Apollo lakukan dengan cepat.
Nichi menatap makanan dan minuman di hadapannya sebentar sebelum melihat Apollo. Tanpa berbicara Nichi berdoa lalu makan.
Apollo tersenyum melihatnya. Setelah Nichi mulai makan, ia menarik bangku lalu duduk.
“Nggak usah keseringan ke sini lo. Gue bilang mau coba sama lo, bukan berarti lo ngelunjak dan jadi rajin dateng ke rumah gue.” Sambil mengunyah Nichi mendelik kesal pada Apollo.
“Ya mau gimana, Chi.. Gue yakin lo pasti susah gue ajak keluar jadi ya satu-satunya cara buat gue usaha yaitu samperin lo ke sini. Tiap gue chat tanyain lo di mana juga jawaban lo selalu di rumah. Dari situ gue simpulin lo nggak suka keluar kalo nggak penting-penting amat.” Apollo berhenti sejenak karena ia menyelipkan anak rambut Nichi yang mengganggunya saat makan.
Perhatian kecil itu membuat Nichi tertegun sedetik namun dapat menguasai diri dan lanjut makan.
“Ternyata satu perbedaan lo lagi. Lo udah nggak nongkrong nggak jelas. Dulunya yang hobi lo jalan-jalan ke mana aja, sekarang lebih banyak di rumah. Jadi gue tahu lo lebih nyaman di rumah sekarang, beda sama dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Things [Completed]
RomanceNichi hidup sesukanya. Orang tua tidak pernah melarangnya melakukan apa yang disukainya. Kebebasan adalah hak patennya. Selama Nichi bahagia, orang tuanya juga bahagia. Bukan karena orang tuanya tidak perhatian, tapi mereka memberi Nichi tanggung ja...