32. To see

196 17 0
                                    

Nichi menatap pergelangan tangannya dan tersenyum kecil. Bekasnya masih terlihat tapi tidak separah sebelumnya. Ia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, itu semua berkat ia yang rutin melakukan konsuling. Pikirannya kini sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Nichi mendesah lega lalu berganti baju. Hari ini ia ada janji bertemu dengan Gara untuk menemani pria itu mencari cincin lamaran. Kakaknya satu itu bertindak secepat yang ia bisa. Padahal ini belum sampai satu bulan tapi ia sudah memutuskan untuk membeli cincin.

Nichi tak masalah yang penting kakaknya itu bahagia dengan pilihannya.

~

“Nichi?”

Merasa dipanggil Nichi menoleh mencari orang yang menyebut namanya itu.

“Asa?”

Pria itu tersenyum lebar. “Hai. Long time no see. Dengan lo yang memblokir komunikasi sama gue.”

Nichi melipat bibirnya ke dalam. Mendengar perkataan Angkasa yang tanpa basa-basi itu sedikit membuatnya merasa bersalah. “Gue lakuin itu demi lo.”

Angkasa mengangguk paham. “I know. Hanya saja… gue terbiasa komunikasi sama lo. Anyway, gimana kabar lo?”

“Yang lo liat. Gue baik. Lo?”

“Gue baik. Sepertinya. Oh ya, lo ke sini nggak mungkin tanpa tujuan jadi silahkan lanjutkan ke tujuan lo itu.”

“Oke. Bye.”

Nichi tak perlu berbasa-basi lebih banyak lagi dengan Angkasa. Karena ia memang mengurangi bahkan menghindar berkomunikasi dengannya.

Pria itu terlihat baik dan Nichi harus berhenti mengkhawatirkan Angkasa.

“Kak.”

Gara yang sedang melihat-lihat menu itu mendongak menatap Nichi.

“Lo mau pesen apa?” Gara bertanya sambil menatap Nichi yang mengambil tempat duduk di depannya.

“Lo udah nentuin pilihan lo emang?” Nichi menaruh tasnya di atas meja lalu mengambil menu yang ada di tangan Gara.

“Belum sih, lo aja duluan milih.”

“Oke.”

Gara membiarkan Nichi memilih makanan yang hendak dipesannya.

“Ngomong-ngomong lo udah tahu mau ngelamar Nadeline nanti kayak gimana? Tapi dia bakal terima nggak ya?”

Kerutan terlihat dari kening Gara akibat pertanyaan dari adiknya itu. “Kenapa pertanyaan terakhir lo kayak gitu? Lo bisa buat gue jadi takut, Nichi.”

Nichi menyerahkan menu pada Gara karena ia sudah tahu apa yang hendak dipesannya. “Bukannya gitu, gue nanya kayak gitu karna nggak mau entar lo malu karna ditolak. Kita ‘kan menyiapkan skenario terburuknya, Kak.”

Gara memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanannya diikuti dengan Nichi.

“Gue tahu tapi nggak gitu juga. Lo itu harusnya ngasih gue support dan kata-kata yang ngeyakinin gue bahwa nanti berhasil kejutan lamaran gue.” Gara berkata setelah pelayan pergi.

Sorry, Kak. Lo tahu gue gimana. Gue tetep akan support lo tapi gue juga nggak lupain logika gue.” Nichi menopang dagunya di tangan sambil menatap Gara.

Gara berdecak pelan. “Oke, oke. Gue juga harus pikirin skenario terburuk itu, tapi menurut lo Nadeline bakal terima nggak ya? Kira-kira.”

Nichi mengendikkan bahunya sekilas. “Gue nggak tahu. Gue ketemu sama Nadeline aja yang kemarin doang. Komunikasi gue sama dia pun… oh, dia follow gue di Istagram. Dia sempet DM gue dan nanya-nanya soal lo sih. Meski pun begitu–”

Little Things [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang