7. Siblings

547 44 0
                                    

Nichi bukan tipe orang yang suka keluar rumah. Sembilan puluh persen–baiklah tujuh puluh persen—kegiatannya dilakukan di rumah. Ia akan keluar rumah jika sudah jenuh, tapi sejauh ini ia selalu nyaman hanya di rumah. Maka itu telinga Nichi selalu pengang setiap mendengar cerocosan Reyna. Tapi mana Nichi peduli. Selama ia tidak menyusahkan orang lain, ia abai.

Namun saat ini Nichi sedang malas berada di rumah, jadi ia mengendarai mobilnya seorang diri–benar—seorang diri, menuju pantai. Baru setengah perjalanan, ponselnya berbunyi. Nichi meraih telpon genggamnya yang diletakkan di jok sebelah. Melihat pemanggil, ia segera memasang handsfree. Berbicara sebentar, raut wajahnya terlihat kesal sebelum diganti dengan tawa renyah. “Oke.”

Panggilan berakhir. Niat ke pantai hari ini batal dan ia harus putar balik. Tak apalah, ia bisa pergi lain hari. Yang ini lebih penting.

Satu jam kemudian Nichi meletakkan kunci mobil dan ponselnya di atas meja. “Kalo bukan karna diiming-imingi skin baru gue nggak bakal ke sini.”

Seorang wanita dewasa tertawa pelan. “Gue tuh heran ya. Kita tinggal satu kota tapi susah banget ketemunya. Lo terlalu nyaman di rumah.”

Nichi mengendik. “Kalian ‘kan bisa ke rumah. Jadi, mana Kak Gara?”

“Gue di sini.” Suara berat itu langsung menyahut. Nichi menoleh dan melihat seorang pria bertubuh tinggi tegap dan sedikit berisi berjalan ke arah mereka.

“Lo, bocah. Ke rumah napa sih? Kalo nggak ditelfon suruh datang nggak bakal datang,” omel Gara setelah duduk di sebelah Nichi.

Bibir wanita itu mengerucut. “Iya, nanti gue sering-sering ke rumah.” Nichi meraih gelas minuman di atas meja lalu meneguk tanpa peduli itu minuman Kakaknya. “Kalian berdua kayak sering ke rumah aja.”

Tentu perkataannya itu mendapat tamparan ringan di lengannya dari Kara. “Gue sering ke rumah sabtu minggu kalo lo lupa. Ada cucu yang butuh kasih sayang Opa Omanya.”

Nichi mengelus pelan lengannya. “Abis Kak Gara salahin gue.”

Gara yang sedang menatap layar ponselnya itu membeliak pada Nichi. “Kok gue yang kena.”

“Intinya ya lo berdua itu harus sering main ke rumah. Kurangi dikit mageran lo itu, Chi. Lo juga, Gar, nggak usah alesan ada proyek di luar mulu. Heran gue. Udah pada dewasa masih kayak bocah.” Kara menunjuk kedua adiknya, pandangannya yang tajam pun tak lepas dan membuat mereka hanya saling pandang.

“Gue udah nyari EO ya buat hari sabtu nanti dan gue nggak mau ada alesan apa pun dari lo berdua. Ini tuh ulang tahun pernikahan Papi dan Mami yang ketiga puluh lima tahun. Gue pengen ngasih sesuatu buat mereka, kejutan kecil-kecilan buat mereka supaya mereka tahu kalo anak-anaknya ini tahu berbakti.”

Ucapan tegas itu membuat Gara menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan Nichi memilih menghabiskan minuman milik Kakaknya itu. Dalam hati keduanya ada rasa bersalah yang menyusup. Dibandingkan kakak sulungnya itu, Nichi dan Gara jarang ke rumah. Kalau bukan ada acara penting mereka berdua tidak akan menginjakkan kaki di rumah. Entahlah, mereka mungkin terlalu sibuk dengan kehidupan masing-masing sampai terkadang lupa bahwa mereka masih memiliki orang tua yang perlu diperhatikan.

“Gue kok sedih dan ngerasa bersalah banget ya, Kak. Gue yang rumahnya lebih deket dibanding Kak Gara susah banget buat nengokin Papi Mami.” Nichi bersuara setelah beberapa saat mereka hanya diam.

Kara mendesah pelan. “Baguslah kalo lo sadar jadi sering-sering ngunjungin mereka. Mereka itu makin tua, janganlah kita sibuk sama dunia masing-masing sampe lupa kalo mereka butuh perhatian dari kita juga. Sebisa mungkin peduli sama mereka, sesering yang kita bisa.

Little Things [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang