18. Never getting back together

299 26 1
                                    

“Gue kirain lo nggak mau gue traktir.”

Nichi yang sedang menunggu popcorn yang dipesan menoleh pada Angkasa.

“Itu sih mau lo.”

Angkasa tertawa. “Mau gue sih tetep jadi biar bisa nonton sama lo berdua.”

Nichi memutar kedua bola matanya atas penuturan Angkasa. “Bacot, Sa.”

Popcorn sudah diberikan dan kini keduanya menuju pintu teater yang sudah dibuka.

“Abis nonton lo temenin gue nyari skin care ya, Sa.”

“Liat doang, beli kagak.”

“‘Kan kita harus mempertimbangkannya, Sa. Nggak main beli aja.”

“Mempertimbangkan, pret. Lo mah emang cuma suka liat-liat doang. Udah muter-muter nyari nggak dibeli juga.”

“Udah.. nggak ada mood gue buat mau beli.”

“Alesannya itu Nichi... Gemes gue sama lo.”

Angkasa tanpa ragu mencubit pipi Nichi yang tentu saja langsung ditepis Nichi. “Nggak usah cubit-cubit. Sakit cubitan lo.”

Nichi menatap Angkasa sinis. “Ini lo di luar ya, gue di dalem.” Nichi menunjuk pada kursi mereka.

Angkasa mengangguk. “Oke.”

Thank you, Asa.” Nichi lalu mengambil kursi di dalam.

Setelah keduanya duduk, Nichi mengeluarkan ponselnya. “Fotoin gue. Mana tiket lo?”

“Kebiasaan bener, Chi. Difotoin abis itu nggak ada yang diupload.” Angkasa mengambil ponselnya lalu mengambil gambar Nichi yang sedang memegang tiket film dan popcorn di tangannya.

“Suka-suka gue. Mana sini coba gue liat.” Nichi melihat hasil foto Angkasa yang selalu bagus. Ia melayangkan pandangan pada Angkasa sambil memberikan senyumannya. “Bagus, Sa. Lagi ya..”

Angkasa lalu mengambil beberapa foto untuk wanita itu setelahnya mereka berbicara sebentar sebelum tak lama kemudian film dimulai.

~

“Gue nggak suka endingnya.” Angkasa berpendapat begitu mereka keluar dari bioskop.

Nichi yang berjalan di sisinya menoleh. “Menurut gue sih oke-oke aja. Itu realistis namanya, Sa. Karna dalam hidup yaa nggak ada yang namanya happy ending atau sad ending.”

“Bener pendapat lo cuma ‘kan namanya film, Chi. Kalo nggak sad ending ya happy ending. Biar jelas, kalo kayak tadi itu penonton dibuat mikir lagi.”

Nichi tertawa kecil. “Sesekali kita mikir kasian penulis skenarionya juga mikir mulu buat ambil keputusan. Sesekali penikmatnya lah..”

“Iya deh.” Keduanya lalu berbelok memasuki sebuah toko kecantikan. Angkasa hanya mengikuti Nichi.

“Lo masih maskeran ‘kan, Sa?” Nichi bertanya sambil melihat-lihat masker wajah.

Angkasa mendekat dan ikut melihatnya. “Masih kok. Buktinya liat aja nih, mukanya gue cerah ‘kan? Nggak kayak sebelumnya. Kusam dan tak terawat.”

Nichi tersenyum geli. “Bagus deh. Ini menurut lo yang bagus yang mana?” Nichi memegang dua jenis masker dan menunjukkannya pada Angkasa.

Angkasa memerhatikan kedua jenis masker itu lalu membaca kegunaannya. “Kulit lo normal jadi yang ini aja.” Angkasa menunjuk yang ada di tangan kiri Nichi.

Nichi melihat masker itu. “Iya sih, tapi gue pengen coba yang ini. Gue beli dua-duanya aja kali ya?”

Angkasa menggeleng. “Lo yang ngajarin gue kalo merawat kulit itu harus sesuai dengan kebutuhan kulitnya. Jadi lo nggak bisa beli dua-duanya, Nichi.”

Little Things [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang