Chapter 15

7.6K 179 1
                                    

Tekan bintang sebelum membaca, jangan lupa tinggalin jejak😁

***

Sania terpaku menatap Arez, degup jantungnya tak karuan bersamaan genggaman pada tasnya mengerat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sania terpaku menatap Arez, degup jantungnya tak karuan bersamaan genggaman pada tasnya mengerat. "Mas aku... "

"San-"

"Aku capek," Dan spontan melanjutkan saat Arez melangkah mendekat lalu berdiri tepat di hadapannya dalam jarak beberapa jengkal.

Sania yakin Arez mengetahui siapa laki-laki yang mengantarnya barusan. Salah? Sania mengakui itu, namun jika Arez marah membabi buta setelah ini. Sania rasa itu berlebihan.

Toh, Arez sendiri berulang kali mengatakan. Dia tidak peduli-dan dirinya punya hak penuh bertemu laki-laki mana pun. Sania merekam baik dalam ingatan ucapan Arez tersebut.

Lantas, pantaskah Arez marah jika ujung-ujungnya selalu dia yang disalahkan?

"San." Arez meraih pergelangan Sania dan ditepis perempuan itu.

"Lepas, Mas," ucapnya, mendelik sinis lalu membuang wajah.

Intens, Arez menatap Sania meskipun Sania tak mau menatapnya balik, ia salah fokus pada wajah perempuan itu. Tampak berbeda. Kalau Arez boleh jujur, penampilan Sania sekarang mengingatkannya pada Sonya.

Rambut tergerai curly sepundak, mata bulat dengan bulu yang lebih lentik, hidung mancung yang pas, serta make up tipis dengan rona merah samar di bagian pipi. Jangan lupakan, alis tebal nan rapi menyempurnakan proporsi wajah perempuan itu.

Sania memang sudah cantik sejak dulu, atau memang Arez yang terlambat menyadari hal tersebut? Sebab sejak mereka menikah, tak pernah sebentar pun ia berniat memandang wajah Sania lebih dekat.

Sonya, Sonya, dan Sonya. Mungkin satu nama itu yang telah membutakan penglihatannya.

Arez tersenyum tatkala Sania justru cemberut. Hei! Sepertinya ada yang salah, Arez tiba-tiba menjadi gemas terhadap perempuan itu.

"Aku nggak marah kok," kata Arez.

"Aku nggak peduli mas marah atau enggak," jawab Sania berpura-pura. Ia hendak melangkah lagi namun Arez merentangkan sebelah tangan, menghalanginya.

"Aku capek, Mas." Kalau soal ini, Sania tidak berbohong. Ia memang lelah menghadapi semua tingkah Arez yang kadang baik, dingin, lalu mendadak marah seenak hati.

"Kita sama-sama capek, San. Bagaimana kalau kita istirahat sebentar dalam hubungan ini?"

Sania mengernyit dalam, "Maksudnya?" Enggan menerka, rautnya tidak bersahabat. "Kita sudah menikah Mas bukan pacaran. Aku nggak ngerti keinginan kamu."

Arez tersenyum hambar. Jika Sania tidak memahami apa maksudnya, maka Arez tidak terlalu bodoh untuk memahami mengapa cara bicara, sikap, dan tingkah perempuan itu berubah.

"Aku jelaskan di dalam. Sebaiknya kamu masuk dulu."

Menyetujui, Sania melenggang masuk meninggalkan Arez di luar, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari seseorang.

Aku Hanya Ingin Menikahi KembaranmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang