3. Hujan dan juga dia

2.5K 225 36
                                    

Hello sengsengku😘

Jangan melupakan kewajibanmu untuk mengvote ya seng!

Happy reading bukan Happy ending!

*****

"Hujan itu baik yah, bisa buat kita  bertemu lagi"
~Jinha Etrella~

Pagi-pagi sekali Abdiel sudah siap untuk ke sekolah, dengan bermodalkan roti dua lembar agar ia bisa mengganjal perutnya yang mudah keroncongan. Andai saja ada Mama, pasti wanita itu sudah menyiapkan nasi goreng spesial untuknya.

Abdiel menstater motornya, ia mengadah ke atas. Awal hitam yang menggumpal menghiasi kota Jakarta hari ini. Setelah memanaskan motornya, Abdiel segera menancap gas agar segera sampai di sekolah.

Awan hitam yang tadi menggumpal kini mulai sedikit membebaskan sedikit demi sedikit germicik air hujan yang di tampungnya. Setetes air dari langit itu mengenai kulit tangan Abdiel yang mengendarai motor besarnya. Abdiel mulai menambah laju pada kecepatan motornya, namun naas. Air hujan semakin turun, membuatnya mau tak mau memilih berteduh pada pelantaran toko.

Ia sampai menyesali kecongkahan dirinya karena mengira bisa sampai ke sekolah sebelum hujan deras jatuh menimpah bumi. Abdiel mengibas lengannya yang sedikit basah. Cowok itu mengadah ke atas, hujan semakin turun dan ia sudah terjebak dipelantaran toko bersama orang-orang yang juga ikut berteduh untuk menghindari terkena hujan.

Cowok itu mengadahkan tangannya lalu bergumam pelan. "Allahumma shoyyiban nafi'an" Ia mengusapkan tangannya pada wajahnya lalu pemuda yang sudah lengkap menggunakan pakaian putih abu-abu itu memilih mundur dan bersandar pada tembok, sembari memandang motornya yang sudah basah kuyup karena hujan.

Sebuah mobil Alphard berhenti di depan toko yang ia naungi itu, ia tak ambil pusing menurutnya itu hanya orang yang ingin membeli sesuatu di toko. Namun…

Setelah seseorang gadis memakai baju sekolahan putih abu-abu juga itu turun dari mobil itu, ia mengerutkan dahinya bingung. Dia…Jinha.

Cewek yang menjebaknya tadi malam untuk mengaku-ngaku menjadi pacarnya di depan Ayahnya. Jinha nampak berlari untuk meneduh, ia melambai-lambai pada mobil yang sudah mulai meninggalkannya itu.

Susah payah ia meminta supir pribadinya itu agar meninggalkannya saja di tepi toko. Awalnya supirnya itu menolak, mana mungkin ia meninggalkan anak majikannya di tepi toko hujan-hujan begini, tapi Jinha tetap Jinha. Gadis itu gak mungkin mau di bantah siapapun itu. Kalau ia memilih A maka harus di turuti.

Jinha dengan malu-malu ke dekat Abdiel, cowok itu nampak berpaling lalu menghembuskan nafas pelan. Jinha berdehem singkat mengode keras cowok di sampingnya agar mau mengajaknya berbicara. Karena tak tahan dengan kecanggungan, Jinha memulai obrolan singkat.

"Gue di sini!" ucapnya sedikit keras takut ga kedengaran karena hujan makin deras. Abdiel menoleh pelan, lalu kembali kembali menatap ke motornya. Laki-laki itu hanya mengangguk pelan, merespon ucapan perempuan itu.

Ia sudah tidak ingin berurusan dengan Jinha, walaupun ia sudah berjanji ke Ayah gadis itu agar beberapa tahun kedepan membawa kedua orangtuanya untuk melamar gadis itu. Tapi, itu hanya permainan Jinha, dan permainan itu sudah berakhir. Jadi, apakah ia harus bersikap tidak mengenal cewek itu?

"Hujan yah?" Jinha menuruti dirinya, astaga! Kenapa ia bego sekali dengan menanyakan hal yang jelas-jelas sudah lelaki itu tau jawabannya. Abdiel mengerutkan dahinya bingung, entah kenapa ia malah terkekeh pelan. Pertanyaan macam apa itu?

The Dangerous Bodyguard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang