rayu0,9: stranger, objek pemicu insekuritas dalam diri

63 5 71
                                    

chapter 17

Semestinya aku tidak asing dengan suasana ini. Menjadi salah satu dari empat atau lima penumpang sebuah mobil kecil yang melaju menuju pemberhentian menyenangkan.

Tapi sudah berapa lama sih aku hidup sebagai Rayu yang pindah rumah?

Aku baru tahu bahwa satu keputusan Papa itu benar-benar totally mengubah keseluruhan situasi hati dan hidupku.

Seperti saat ini. Aku merasa sedikit tidak betah berada di antara tiga orang asing yang mencoba beramah-tamah denganku—baik, tidak semua, sohibnya Negan tidak.

Aku duduk di dekat kaca sebelah kiri di jok tengah. Negan di sebelahku, di tengah, yang di sebelahnya lagi ada kembarannya Navy; mereka memang semirip itu, aku hampir memanggilnya dengan nama yang salah.

Di jok penumpang depan ada cewek yang katanya dia diajak demi menemaniku biar ceweknya-tidak-sendirian. Aku tidak mendengarkan dengan jelas saat seseorang menyebut namanya. Tapi dia cantik. Cewek gaul sejenisku.

Dan yang mengemudi sekaligus si pemilik Civic biru ini adalah seorang cowok bertampang menyebalkan yang dalam sekali lihat kamu bakalan yakin dia memang orang yang menyebalkan. Aku semakin tidak suka padanya saat tahu dia tahu siapa aku. Saudara tirinya Negan.

"Dia emang suka tahu urusan orang lain. Jadi yang sabar aja sama Navid."

Aku mengingat percakapan ringan aku dan Negan dalam perjalanan menuju tempat pertemuan. Aku lebih suka saat-saat seperti itu, berdua dengannya seperti biasanya. Nyaman, kalem, tidak ada yang membuat emosi; kami sudah jarang bertengkar lagi. Aku mengerti dia, dan dia mengerti aku.

Tapi Negan salah memahaminya. Dia pikir aku masih Rayu yang sangat doyan jalan-jalan secara beramai-ramai especially ke suatu event hiburan. Tanpa aku sadari pun, kesukaan dan zona nyamanku mungkin perlahan telah berpindah. Aku menjadi lebih nyaman ketika sendirian atau hanya berdua dengan seseorang yang aku akui dekat.

Rayu menjadi lebih introver setelah meninggalkan teman-teman lamanya dan rumah besar kosongnya bersama papanya.

Ralat. Eksistensi Papa di keseharianku malah semakin berkurang.

Sudahlah, ada Negan ini.

Radio mobil bergulir ke lagu selanjutnya yang sama-sama tidak aku kenal. Dua orang yang duduk di depan pun mengobrol tentang sesuatu yang tidak akrab di telingaku. Ini sangat asing. Aku tidak tahan dengan semua ini.

Di tengah nanarnya suasana hatiku, aku mendengar seseorang berbisik memanggilku.

Aku melirik ke satu-satunya orang yang mungkin melakukan itu dan kebetulan dia yang paling dekat posisi duduknya denganku.

Dia menyodorkan permen loli rasa mangga dengan raut kalem, punggung dan bahunya bersandar santai ke jok. Aku hanya menatapnya saja tanpa berniat menerima benda itu meski saat ini dirinya juga tengah mengemut permen loli yang sama sampai membuat sebelah pipinya menggembung.

"Lo nggak nawarin gue?" Biru menceletuk di sudut sana.

Negan memutar kepala ke arahnya. "Males banget harus samaan sama elo."

"Tapi lo kan tahu gue suka permen loli."

Aku langsung mengambil permen loli kemasan itu dari tangan Negan. Membukanya, dan memasukkannya ke mulut dengan ekspresi yang dibuat senikmat mungkin, memamerkannya ke Biru untuk mengejek. "Punya gue."

"Pelit." Biru menggerutu.

"Beli sendiri," timpal Negan.

Untuk sesaat dan untuk hal sepele, aku merasa menang sekaligus senang. Rasa manis buah mangga dari permen loli yang kuemut pun sedikit menambah percikan kebahagiaanku.

Take Her to The Saturn [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang