chapter 3
Padahal yang nikah itu Bunda, gue juga udah setuju meski ada segelintir hal yang masih mengganjal. Tapi itu muka, entah dari sananya emang punya wajah yang jutek, sumpah, gak enak banget diliat pas hari itu kami pindahan. Mau gak mau, gue jadi ngerasa bersalah padahal yang nikah Bunda. Gue punya andil juga sih.
Rayu namanya. Seumuran gue. Kala malam itu dia datang ke meja nomor 19 yang mana gue nyangkanya cuma gue dan Bunda doang yang bakalan makan, tahunya, itu awal dari kehidupan baru gue dengan sesosok ayah baru dan saudara tiri. Rayu kabur pake mobil ayahnya. Seketika keadaan meja menjadi panik terutama calon suami Bunda yang waktu itu gak sempet gue perhatiin betul gimana orangnya, gue ikutan kebawa panik.
Bunda langsung nyuruh gue ikutin Rayu pake Scoopy dan gue pun gak pake mikir langsung keluar dari restoran. Ngejalanin skuter dengan mengambil jalan yang ngasal, ngebut, di tengah jalanan malam yang rada asing, gue berhenti mendadak, nelepon Bunda kemudian.
"Bun, mobilnya merk apa? Warna, terus plat-nya."
Sehabis mendapat jawaban dengan suara Bunda yang bercampur tangis, gue kembali menginjak gas sambil rada deg-degan karena ini pertama kalinya gue ngejalanin skuter dengan sekenceng ini. Semoga aja gue gak kecelakaan.
Kira-kira tiga kilometer gue terus ngeliatin mobil-mobil yang ada di jalan, gue mutusin buat belok ke jalanan yang lebih kecil, tapi masih muat untuk dua mobil saling bersinggungan. Belum ketemu juga. Masuk lagi ke wilayah yang lebih sepi dan melebar. Dan, dan, mobilnya ketemu! Dalam keadaan berhenti di sisi bawah pohon agak besar.
Gue segera menghentikan skuter di belakangnya, buka helm, kemudian lari ke sana. Jok supirnya kosong, tapi penumpangnya langsung keliatan di jok belakangnya. Sedang tertidur pulas dengan gaun panjang di tubuhnya dan alunan lagu klasik yang terdengar samar. Gue ngeliat ke sekitar lagi. Bener-bener sepi. Untung aja gue keburu dateng.
Setelahnya gue kembali ke skuter, duduk di joknya sambil kembali nelpon Bunda. Panggilan langsung tersambung di dering pertama.
"Gimana Negan, udah ketemu belum Rayu-nya?" Suaranya sangat menyaratkan kekhawatiran seolah Rayu sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Sebagai anak tunggal, gue malah ngerasa bahagia akhirnya Bunda bisa menyalurkan rasa sayangnya untuk orang lain selain gue.
"Udah, Bun." Gue natap langit biru tua yang cuma dihuni sedikit bintang. "Ada di jalan sepi. Mobilnya berhenti. Dan ...." gue menelan ludah sebelum untuk pertama kalinya menyebut nama ini, "Rayu-nya tidur."
Di pertemuan pertama itu, perasaan gue campur aduk antara masih ngerasa gak siap harus 'jagain' si saudara tiri, seneng karena Bunda nampaknya bahagia dengan kabar ditemukannya Rayu itu, dan gak tahulah. Mulai detik ini, kehidupan berdua gue sama Bunda akan berubah dengan hadirnya dua manusia lain. Semoga aja Bunda bener-bener akan bahagia nantinya.
"Ya udah. Kamu tunggu dulu di situ sampai Bunda sama Pak Lazuardi nyusul ke sana, ya."
"Iya. Sesuai kata Bunda, Negan bakal jagain Rayu." Mulut gue serasa berat amat mengatakan itu. Tapi emang gak ada pilihan lain. Terhadap orang asing pun dan sebagai sikap sopan antar sesama manusia, gue emang harus jagain itu mobil mewah beserta gadis di dalamnya biar enggak ada yang ngebegal, kan? Di jalanan sepi kayak gini, rawan banget begal.
Tapi omong-omong, siapa Pak Lazuardi?
Kembali soal muka masam, tak sekali pun Rayu menunjukkan sedikit kebahagiaannya atas pernikahan itu. Kami pindah ke rumah baru. Jadi di hari-hari sebelum masuk semester pertama kelas sebelas itu, kami sibuk menata perabotan di rumah baru. Ralat, kecuali si gadis bermuka masam yang berleha-leha seperti bos yang jijik terhadap debu. Oke, mungkin itu cuma pemikiran negatif gue aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Her to The Saturn [end]
Teen FictionRayu tak suka saat papanya menikah lagi. Pindah rumah, pindah sekolah, kehadiran ibu tiri, saudara tiri, karenanya Rayu jadi lebih sering bertindak merepotkan. Lalu ketika Negan, si saudara tirinya itu terlalu perhatian ke Rayu, salahkah ketika seb...