rayu0,6: kalau tidak good looking, apa semuanya akan sama?

80 5 47
                                    

chapter 12

Ada yang mendekati meja kantinku ketika istirahat. Cowok, kelas sebelas juga nampaknya, dan mukanya sedikit familiar.

Jelas-jelas bibirnya tersenyum ke arahku alih-alih Brigitta atau Agita. Mereka juga kebingungan mendapatinya yang tiba-tiba duduk di dekatku.

"Rayu, ya?" katanya, sudah duduk tanpa membawa makanan apa-apa. Jelas sekali tidak berniat makan.

Aku tidak menyahut, kedua teman baruku juga. Mulutku terus mengunyah mi ayam yang pedasnya keterlaluan karena Brigitta menuangkan sambal kebanyakan.

Aku minum, sambil terus menatapnya heran. Tapi dilihat dari logat-logat usilnya begini, sepertinya di sekolah baru ini pun dalam sekejap aku langsung mendapat perhatian seorang laki-laki ganteng. Hanya saja itu tidak membuatku senang luar biasa.

"Kalau lo ngerasa nggak asing sama muka gue, gue emang sering keliling sekolah pake pita hitam dan kain hitam tulisan Bidsus merah di atas siku pas mos. Yang wajahnya sangar itu, lho."

Brigitta langsung tertawa, sementara Agita bingung. Aku sendiri masih tidak bisa berpikir jauh selain dia yang menyombongkan diri demi mendapat pujian dariku. Sayang sekali dia salah menautkan target.

"Itu, Ray," Brigitta menepuk-nepuk meja, "cowok yang waktu itu lo bilang ganteng pas hari pertama lo masuk. Gebetan elo." Tawanya menyembur lagi.

Alisku mengernyit dalam sekaligus dongkol melihatnya yang tetap saja menyebutku punya gebetan. Apalagi orang seperti cowok di sampingku ini, mendadak kadar rupawannya menurun.

Dia yang dibicarakan jelas merasa senang. "Gebetan?" Reaksinya seperti anak-anak yang habis dikasih tahu rencana jalan-jalan akhir pekan.

"Iya. Rayu ngegebet lo." Brigitta terus memprovokasi. "Siapa nama lo?"

"Navy." Tidak ada tangan yang terjulur untuk disalami sebagai perkenalan awal. Dia hanya bersandar sambil menyilangkan tangan di depan dada, kelihatan sekali gayanya yang congkak.

"Oh, hai, Navy, salam kenal," sambutku, lebih datar dari papan tulis kelas. Aku lalu melanjutkan menyuap mi ayam meski bibirku sudah merah seperti dilipstik. Aku tidak kepedasan kok.

"Yang antusias kek nyambutnya, Ray. Katanya lo bilang lo pengen ketemu dia." Ada apa sih dengan kepribadian Brigitta?

Waktu itu aku bilang begitu untuk memanasi Negan yang terang-terangan menyindirku di sebelah. Cuma bualan. Tapi ketika didengar oleh Brigitta, otomatis itu menjadi bumerang untukku.

Aku menghela napas.

Aku tidak tahu gimana ekspresi cowok itu saat mendengar ujaran positif Brigitta mengenai dia. Malas. Aku malas menerima siapa pun yang berusaha mendekatiku apalagi tanpa tedeng aling-aling.

"Lo anak pindahan?" dia bertanya. Tubuhnya sebagian besar menghadap padaku.

"Iya, gara-gara bokap nikah lagi nih." Aku tak menemukan alasan harus menutupi rahasia itu. Apalagi terhadap orang asing. "Awalnya udah lumayan betah. Tapi abis liat ada cowok yang SKSD di minggu kedua gue pindah, gue jadi pengen balik lagi ke sekolah gue yang dulu."

Adanya dia atau tidak, aku memang sudah kepengen pindah sih.

Brigitta mesem-mesem sendiri menyaksikan penolakan halusku. Ini pasti hiburan untuknya. Sedang Agita, dia masih tak bicara dan malah geleng-geleng kepala. Kuat sekali dia berkawan dengan Brigitta selama setahun. Berduaan terus lagi kayak pensil dan penghapus.

Di luar dugaan, cowok yang tak mau kusebut namanya itu tertawa-tawa. "Aneh justru kalau cewek judes kayak lo temboknya gampang runtuh."

Apaan, sih? Nggak jelas.

Take Her to The Saturn [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang