chapter 8
Sudah dua kali, dan gimana mungkin dengan lancarnya tanpa persiapan apa-apa, gue bisa 'menjadi' sosok lain bernama Vinzo hanya karena permintaan Rayu? Beda lagi masalahnya dengan tiap gue meranin suatu karakter di teater. Di situ gue sudah berlatih, menghafal dialog, dan tahulah apa yang bakal terjadi ke depannya.
Kalau jadi Vinzo ini, bisa dibilang bener-bener improvisasi sepanjang pentas. Mana lagi jauh banget antara gue dan Vinzo tuh. Ya iya dulu gue sempet nakal meski gak nakal-nakal amat. Tapi Vinzo tuh kayak, bukan Negan banget. Kok bisa?
"Kok bisa, Bir?"
"Bisa apaan?"
Gue melirik Biru yang mulanya pintu ruang kelas gue yang tertutup yang gue pandangi sedari tadi. Sekitaran kami hening karena pelajaran sedang berlangsung. Ada sedikit rasa bersalah karena mesti bolos biarpun udah wajib para panitia mos dispen.
"Coba pikirin, lo yang sehari-harinya diem gini tiba-tiba berubah jadi playboy, mungkin nggak?" tanya gue padanya. Dia sedang duduk bersandar ke tiang tembok dengan dua kakinya selonjoran di atas tempat duduk.
"Mungkin aja," jawabnya. "Kalau mau, kalau ada kepentingan, kenapa enggak."
Bener juga. Meski gue nggak bener-bener mau jadi Vinzo, kepentingan membuat Rayu bahagia mengalahkan segala rintangannya sehingga gue jadi bisa. Masuk akal. "Tapi emang bakal langsung lancar? Maksud gue, kan itu berkebalikan banget dari sifat lo selama ini."
"Kalau ada pengalaman, kalau dulunya pernah kayak gitu, bisa." Mau membahas apa pun, nggak pernah gue lihat wajah dia yang kelihatan tertarik. Tapi meski gitu, Biru tetap menjawab seadanya untuk menghargai.
Biar dia pasti paham ucapan gue tadi berarti gue mengalaminya (berubah jadi orang lain), gue tetap menjelaskan. "Dua hari kemaren gue gitu. Berubah jadi rada nakal demi orang lain."
Baru kali itu Biru balas melirik gue di tengah tangannya yang berurusan dengan ponsel. "Cewek?"
Lihatlah, temen gue yang selalu bertampang cuek itu sangat peka. Sebenernya gue ada feeling dia emang rada handal tentang urusan gituan meski sama sekali belum pernah pacaran.
Gue memalingkan muka. "Jangan ngomong gitu, ah. Kesannya kayak gue beneran naksir aja."
Tidak terdengar sahutan untuk beberapa lama.
Gue garuk-garuk rambut, menghela napas kemudian, nyenderin kepala ke tiang tembok di ujung satunya. "Enggak, gue gak naksir. Cuma, mau gak mau gue harus sering merhatiin dia."
"Siapa?"
"Saudara tiri gue."
Biru sedikit terkejut. Tidak biasanya. Dan di situ gue agak yakin dia kepengen ngedenger ceritanya lebih lengkap meski dia cuma mandangin lurus gue aja tanpa ekspresi apa-apa. Padahal kalau pengen ya bilang aja.
"Nantilah. Takut ada yang denger di sini mah." Rayu pasti gak mau kan kalau rahasia itu terbongkar?
Gue dan Biru masuk ke divisi peralatan yang pake nametag dengan pita kuning. Tugas gue ngarahin adik-adik kelas dari lokal ke lapangan atau ke aula, sedangkan Biru bagian dokumentasi. Jadi gak heran kalau di tengah-tengah KBM gini, dan anak-anak lokal pun pada di dalem, gue dan dia ngaso, bicarain hal-hal kayak tadi yang sejujurnya itu pertama kalinya topik tentang 'cewek' mengudara di antara kami.
Rayu, Rayu.
Di kantin pas jam istirahat, suasananya sangat ramai dan penuh oleh siswa-siswa kelas sebelas dan dua belas. Gue dan Biru mampir bentaran ke sana buat beli susu dan roti. Di saat gue berada di tengah orang-orang yang juga lagi ada di warung tempat gue akan membeli roti, gue nemuin Rayu lagi bareng sama Brigitta dan Agita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Her to The Saturn [end]
Novela JuvenilRayu tak suka saat papanya menikah lagi. Pindah rumah, pindah sekolah, kehadiran ibu tiri, saudara tiri, karenanya Rayu jadi lebih sering bertindak merepotkan. Lalu ketika Negan, si saudara tirinya itu terlalu perhatian ke Rayu, salahkah ketika seb...