Hamparan salju membentang, menyelimuti halaman luas itu. Pohon-pohon cemara berdiri di sepanjang jalan yang seperti dilapisi karpet tebal warna putih. Jalanan itu mencetak langkah Rosa menuju ke sebuah kastil kuno di ujung jalan itu.
Seperti dalam dongeng, pilar-pilar tinggi menopang atap kastil yang tertutup salju. Putih pucat di segala penjuru, jendela-jendela besar di dinding itu hampir semua mengembun karena dingin. Undakan tangga marmer di teras kastil tampak mengkilap licin, hampir bisa memantulkan bayangan wajah Rosa yang tanpa ekspresi.
Pintu besar berwarna gading itu terbuka, ketika Rosa berada tiga langkah di depannya. Seperti memasuki sebuah dunia yang berbeda, di balik pintu itu, terdapat sebuah ruangan yang luas dan terang. Lantai marmer putih mengkilap membentang di seluruh ruangan, dindingnya terbuat dari kaca, langit-langitnya tampak seperti langit pagi yang cerah sungguhan karena sihir, patung-patung indah khas yunani kuno tersebar rapi di ruangan itu, serta tatakan lilin berbaris rapi di sepanjang ruangan.
Di bawah jendela besar, disirami cahaya lembut matahari Desember, seorang pria tampan dengan surai platinum, sedang berkutat dengan tumpukan perkamen di meja kerjanya. Menyadari eksistensi Rosa di depannya, ia menghentikan kegiatannya dan tersenyum hangat pada Rosa.
"Kau datang?" sapanya. Rosa mengangkat sebelah alisnya, "Katakan!" ujarnya. "Apa yang bisa kukatakan?" pria itu menyandarkan dirinya pada sandaran kursi, kemudian menujukkan jarinya ke arah tumpukan perkamen yang berserakan di atas meja "Pekerjaanku jadi tambah banyak karena kau!" lanjutnya.
Rosa menatap datar pada pria di depannya, "Kau pikir aku datang ke sini untuk mendengar keluhanmu?". "Tentu saja kau harus dengar! Karena hampir seluruh waktuku habis untuk menyelesaikan masalah yang kau timbulkan" jawab pria itu.
Rosa mengepalkan tangannya menahan emosi, matanya berkilat marah, "Kau tahu tujuanku datang ke sini, Joshua". Sorot mata Joshua menajam begitu mendengar suara Rosa yang bergetar. Ia menegakkan tubuhnya kembali, "Tentu saja, dan kau tahu jawabanku juga akan sama" ujarnya dengan nada tegas.
Rosa menggebrak meja kerja Joshua. "Ini sudah dua ratus tahun!—" "Sudah dua ratus tahun berlalu! Untuk apa masih menanyakan itu?" tukas Joshua pada Rosa.
Rosa menegakkan badannya, ia menatap marah pada Joshua. "Baiklah, kalau kau tidak mau bicara. Aku akan memaksamu bicara!" seketika angin berhembus kencang, semua lilin padam, langit-langit yang menampilkan langit cerah seketika berubah menjadi langit mendung dengan kilat, perkamen dan segala sesuatu di meja Joshua pun beterbangan kemana-mana.
"Rosa, tenanglah!" ujar Joshua dengan nada lembut. "Hanya setelah kau katakan apa yang ingin ku dengar" jawab Rosa.
"Apa yang ingin kau dengar, Rosa?"
"Argh! Katakan dimana dia sekarang!"
"Untuk apa?!" kini Joshua sedikit meninggikan nada suaranya, "Apa gunanya kau tahu tentang itu Rosa?" lanjutnya.
Ekspresi Rosa kini sedikit melunak, matanya menerawang, seperti mengingat sesuatu. "Aku..." lirih Rosa.
Joshua menghela napas dalam, menunggu Rosa melanjutkan kalimatnya "...aku hanya ingin tahu" lanjutnya.
"Kalau sudah tahu, kau mau apa? Apa yang akan kau lakukan?" Rosa terdiam mendengar pertanyaan Joshua. Angin dan petir berhenti, perlahan langit-langit ruangan itu kembali seperti semula, lilin-lilin mulai menyala, dan barang di meja Joshua pun kembali tertata rapi.
"Sudahlah Rosa, berhenti menanyakan tentang dia dan fokus saja pada dirimu sekarang" Joshua bediri, tangannya terulur untuk menyentuh bahu Rosa "Kau lupa? Kau berakhir begini karena dia" lanjutnya.
Rosa menatap dalam mata Joshua, "Aku harus bertemu dulu dengannya, baru aku tahu apa yang akan kulakukan".
Joshua kembali menghela napas, tangannya kini telah kembali ke sisi tubuhnya. Sesaat, ekspresinya terlihat memikirkan sesuatu. "Baiklah, aku akan beri tahu padamu tentang dia." ujar Joshua.
Tubuh Rosa menegang, menunggu ucapan Joshua selanjutnya. "Tapi, beritahukan padaku dimana jiwa yang kau selamatkan delapan belas tahun lalu." Lanjut Joshua.
Mata Rosa menyipit, ia menatap penuh selidik pada Joshua. Ia tampak berpikir "Sepertinya anak itu penting sekali ya, untuk kalian?".
Rosa mencondongkan tubuhnya ke arah Joshua, tangannya bertumpu pada meja yang membatasi mereka. "Siapa dia, Josh?" bisik Rosa dengan seringai menyeramkan di wajahnya.
"Apapun yang ada dalam pikiranmu sekarang, yang jelas, jangan macam-macam Rosa!" ujar Joshua dengan nada rendah dan tanpa ekspresi.
Rosa tertawa sarkas, ia menegakkan kembali tubuhnya. "Itu hanya satu dari banyak jiwa yang kucuri, apa bedanya?." Rosa menaikkan dagunya dengan angkuh, menatap remeh pada Joshua "Lagi pula, Joshua, kau harusnya bisa mengurusnya, itu pekerjaanmu, kan?. Ah! Kau bahkan mengomeliku untuk pekerjaanmu hari ini".
Joshua masih pada posisinya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, "Maka dari itu, kau seharusnya bersikap baik dan tidak membuatku bekerja terlalu keras, iya kan?" ujarnya dengan tenang.
Rosa mengangkat sebelah alisnya, "Apa aku tampak peduli?" Rosa kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Joshua "Aku tak akan jadi seperti ini, seandainya surga tak menghukumku atas takdir buruk yang mereka tetapkan untukku." Lanjutnya. Kemudian, tanpa menunggu sepatah kata lagi dari Joshua, ia berlalu dan meninggalkan kastil itu.
-Deathly Wishes-
Di dalam kastil miliknya sendiri, Rosa duduk di sebuah sofa panjang. Menghadap, pada sebuah meja yang menyajikan setangkai bunga mawar yang berada dalam sebuah wadah kaca. Mawar itu melayang dalam wadah itu, dikelilingi manik cahaya berwarna kuning.
"Manusia" ujar Rosa tiba-tiba. Ia berdiri dari duduknya. Gaun hitam panjang berbahan satin itu tergerai indah sampai ke belakang tumitnya, menyapu lantai marmer yang bergema karena ketukan sepatu Rosa. Jemari lentiknya memegang pinggiran tangga. Seringai muncul di sudut bibir merah Rosa, "Sudah waktunya".
Pintu kastil terbuka. Seorang remaja laki-laki memasuki kastil itu. Wajahnya basah, entah karena keringat atau salju. Matanya mencari dan jatuh pada meja panjang penuh makanan. Kepalanya berputar, melongok ke segala arah, sebelum tangannya dengan cepat menyambar sepotong roti isi sosis di sana.
Setiap tingkah dari pria itu, tak sedikitpun lepas dari pandangan Rosa. "Bagaimana? Kau suka makanannya?" ujanya dari puncak tangga.
Sowon terbatuk karena tersedak. Ia tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya ketika melihat Rosa yang kini sedang mendekat ke arahnya.
"Tch! Ini sebabnya mereka bilang darah lebih kental dari air" gumam Rosa saat sudah tiba di hadapan Sowon. Diamatinya wajah Sowon yang masih terkejut. "Ma-maaf, sa-saya sudah lancang. Ta-tapi tadi pintunya terbuka, jadi sa—" "Dari banyak rupa yang bisa kau ambil, kenapa harus dengan wajah ini kau datang padaku?" potong Rosa, mengabaikan ocehan Sowon.
"Maaf?" celetuk Sowon dengan raut bingung. Rosa masih menatap penuh arti pada wajah Sowon. Tangannya terulur menuju wajah Sowon. "Dingin" ucap Sowon dalam hati ketika telapak tangan Rosa menyentuh kulit pipinya.
"Kau mirip ibumu" ujar Rosa. Mata Sowon membola, "A-anda mengenal ibuku?" tanya Sowon. Rosa mengangkat sebelah alisnya, "Malam itu, ibumu juga datang dengan wajah seperti ini," tutur Rosa tanpa menghiraukan pertanyaan Sowon. "putus asa dan hampir mati" lanjutnya.
Sowon langsung menepis tangan Rosa dari wajahnya dan beringsut mundur. "Siapa kau?!" sergah Sowon. Rosa menyeringai, mencondongkan tubuhnya mendekat pada Sowon. "Siapa aku, itu tergantung padamu. Aku bisa menjadi penyelamat hidupmu, atau..." Sowon terhimpit antara meja di belakangnya dengan Rosa di depannya yang makin mendekat ke arahnya.
Rosa mendekatkan wajahnya ke samping telinga Sowon, kemudian berbisik "...menjadi kematian paling menyakitkan untukmu, Park Sowon".
Kengerian menguasai tubuh Sowon. Hawa dingin seakan menusuk setiap saraf di tubuhnya. Ia tak lagi dapat merasakan kakinya bertumpu di tanah. Bersama dengan itu, kesadarannya pun menguap dan meninggalkannya dalam kegelapan.
Rosa menatap dingin pada pemuda malang yang tergeletak pingsan di bawah kakinya. "Sebenarnya takdir apa yang kau bawa padaku dengan rupa itu? Aku... harus apa denganmu?".
-Deathly Wishes-
Di lain tempat, Joshua menerawang pada jendela besar di dinding kastilnya. "Sudah dimulai...kah?"
-Deathly Wishes-
KAMU SEDANG MEMBACA
Deathly Wishes : For the Eternal Love
Fantastik"Untuk kali pertama dan terakhirku, aku meminta pada manusia. Aku meminta padamu, Park Sowon, berikan padaku satu momen dalam hidupmu. Momen untuk mencintaiku, setulus mungkin, sebanyak yang kau bisa berikan untukku, bantu aku selesaikan hukumanku...