"Coy, padim nih?"
"Sini cuy.. gua udah di 2.9. Buru lagi lorang dimana? rame bet ini"
"Bentar lagi sampe"
"Anjir cok! ban ku bocor di simpang kampus. Nyusul ae aku"
"Yang udah di ruangan sapa aja?"
"Oki, Mira, Poppy, Franky, Wahyu, Berlian"
"Lah bocah-bocah pada kemana dah ini?!"
"Sabar elah, baru juga kelar mandi gua"
"Weh lorang mending cepet lagi. Dah jam 12.30 ini, nak kelas A dah pada dateng. Jangan mau kalah lah sama anak kelas A mereka pada awal waktu"
"Otewe brodiiiii !!!!"
Siang itu grup kelas sangat ramai. Kebetulan memang anak kelas A baru kelar mata kuliah perpajakan jam 11.30 WIB tadi dan mereka cukup antusias untuk ikut pertemuan angkatan yang kedua kalinya ini setelah pemilihan ketua angkatan kemarin.
Karakteristik anak kelas A ini cukup ekspresif. Karena total gender laki-laki disana 12 orang dengan ciri khas masing-masing. Ada 4 orang yang sangat menonjol di bidang akademik 3 diantaranya aktif di organisasi, 1 orang tampil sebagai duta kampus dan sering menjadi utusan ketika kampus ada kepentingan, 1 orang suka ngelawak, 3 lainnya lebih pasif dan sisanya hidup segan mati tak mau. Begitu pun dengan mahasiswi nya.
Sedikit berbeda dengan anak kelas B. Kelas yang sedikit aneh dan cukup membingungkan. Di dalamnya ada anak lulusan pesantren, sekolah negeri, sekolah swasta, gapyear yang gagal masuk sekolah berseragam, gabut karena bosen di rumah, bahkan pick me girl pun ada disana. Dan 95% komposisi mahasiswanya adalah sama, pasif dan tidak peduli yang sisanya adalah hyperaktif organisasi, hyperambis akademik, dan hyperwork. Bagaimana mau peduli jika kuliah mereka pun hanya sebagai pelampiasan.
Karena itulah mereka kurang kompak dibanding kelas A. Rasa kepedulian dan kebersamaan satu sama lain di tahun-tahun pertama itu adalah palsu. Begitu pun dengan Dhaanel, seorang lulusan pesantren ingin mencoba hidup bebas diluar dan menutupi identitasnya sebagai mantan santri (padahal sampai kapanpun tidak ada namanya mantan santri) tapi tidak mau menghilangkan kebiasaannya. Hal itu dilakukannya karena ia membangun fikiran bahwa menjadi seorang dengan menyandang identitas santri sangatlah berat, padahal itu hanya halusinasinya saja.
"Padim weh? Ni anak kelas A pada nanyain jadi apa engga"
"Sabar Mir, kitaorang udah di parkiran"
"Sapa aja Ren?"
"Iyaaa Mir, otewe nehh ke 2.9"
Rombongan anak kelas B pun datang dan memasuki kelas. Ruang 2.9 cukup luas untuk menampung sekitar 70 mahasiswa sekaligus. Kini anak kelas A yang duduk di sayap kanan bergeser ke sayap kiri, bergabung dengan kawan kelasnya. Menyisakan bangku kosong yang akan diduduki anak kelas B. Tapi masih ada beberapa mahasiswa laki-laki kelas A di sayap kanan dan membaur dengan kelas B. Atmosfer perbedaannya sangat terasa.
"Mana pak komsa kita?" Tanya Poppy
"Lah, dia mana sih ini? udah mau jam 1 kok masih belum nongol" Kata Mira yang langsung buka WA
"Alaahh.. dia ini masih tidur cok! biasalah bocah pelor! hahaha" Saut Franky dengan sangat renyah
"Coba kamu telpon dulu dia ini, Mir. Jangan sampe komsa telat di kumpulan angkatan" Jawab Oki dengan karakteristik nya yang wibawa.
"Oke, Ki!" Tangkas Mira menelpon Dhaanel
5x telpon berdering tapi tak juga ada jawaban dari ujung sana. Kondisi kelas sudah mulai gerah, banyak anak kelas A yang sudah keluar masuk memberi tanda bahwa mereka gelisah karena jadwal tidak tepat waktu.
"Mir, kita mulai aja sekarang. Komsa lo biar nyusul aja nanti." Kata Kurnia sebagai Komsa kelas A
"Iyaudah deh. Sorry banget ya Kur. Entah kemana ni bocah susah bener dihubungin di situasi kek gini" Gerutu Mira sambil mengotak-atik pesan di WA
"Oke. Kita mulai sekarang!" Tangkas Oki.
Sebagai ketua angkatan dia memandu berjalannya musyawarah siang ini. Dia duduk di depan kelas didampingi sekretarisnya, Dian. Tak lupa memanggil para komsa dan 1 perwakilan dari masing-masing kelas untuk mendampinginya juga. Kurnia dan Elis maju ke depan sebagai wakil dari kelas A. Mira dan Poppy maju ke depan sebagai wakil dari kelas B. Musyawarah pun di mulai dengan khidmat dan tertib. Mira pun masih terus menghubungi Oki.
YOU ARE READING
Santri Kampus
AcciónMenceritakan tentang seorang santri yang bimbang akan masa depannya. Mengalami banyak perubahan karakter dalam dirinya. terlebih ketika ia merasakan ketimpangan aturan dalam kampusnya. ia merasa ada perampasan ideologi yang tersistem dalam birokrasi...