"Selamat pagi duniaaaa!!!"
Adel yang masih tidur nyenyak jadi terbangun ketika mendengar teriakan keras itu, siapa lagi jika bukan biang kerok bernama Azizi? Adel menggeliat kemudian duduk, ia menoleh, menyadari Ashel sudah tidak ada di sampingnya. Setelah mengumpulkan nyawanya, ia berdiri, memakai handuk kimono untuk menutupi tubuhnya yang tak terbalut sehelai benangpun.
"Berisik banget sih pagi-pagi," ucap Adel tepat ketika langkahnya sampai di ruang TV, ia mendapati Azizi tengah meminum susu dengan santai setelah mengganggu tidur nyenyaknya.
"Lagian udah jam delapan masih molor aja." Azizi tidak merasa bersalah sama sekali, ia menyimpan gelasnya, memandangi Adel dari atas sampai bawah kemudian menggeleng. "Emang gak ada capeknya."
"Emang lo terakhir kapan?" Adel melangkah, mengambil salah satu gelas yang ia yakini itu untuknya karena jumlah gelas berisi susu ada empat. Adel duduk, meneguk susu itu sampai nyaris habis.
"Gak inget, jarang gue." Azizi mengikat rambutnya dengan sembarang sebelum menghidupkan TV, ia yakin liputan tentang dirinya pasti ada, ia menyukai wajahnya dalam wawancara itu karena merasa sangat keren.
"Hah serius?" Adel menatap Azizi tidak percaya. Azizi memiliki seorang kekasih yang fisiknya sangat sempurna, bagaimana mungkin Azizi lebih sering melewatkannya?
"Gue sama Marsha udah lama kali pacaran, tiap hari kaya gitu bisa capek, apalagi jaman kuliah, gak punya kesempatan dan sekarang kita sesibuk ini, gak kepikiran gue buat ngelakuin itu." Azizi tak berhenti
memindahkan channel TV hingga akhirnya ia berhasil menemukan acara berita.
"Kalo Marsha pengen?"
"Ya kalo gue lagi gak capek gue kasih, kalo lagi capek mah males banget. Jangan samain gue sama otak kotor lo." Azizi menggeleng tidak mengerti kenapa Adel membahas hal ini, bukannya ini bersifat pribadi? Lalu, kenapa ia menjawabnya dari tadi? Memang kadang ia juga bingung dengan dirinya sendiri.
"Itu kebutuhan. Kalo Marsha cari itu di orang lain gimana?" Adel meneguk ludahnya ketika tiba-tiba saja Azizi menatapnya dengan sangat tajam. "Gu-gue becanda."
"Becanda?" Azizi mencengkeram rahang Adel erat sampai Adel meringis kesakitan. "Siapapun yang berani sentuh dia, gue akan amputasi tangannya sampe dia gak bisa
genggam apapun lagi." Azizi melepaskan rahang Adel dengan bantingan keras.
Adel yang masih sedikit terkejut hanya bisa diam, menatap Azizi tidak percaya karena ia baru mengetahui ternyata sahabatnya bisa sangat menyeramkan. Adel meneguk ludahnya dengan susah payah kemudian mengalihkan perhatiannya, ia meneguk susunya sampai habis.
Detik berikutnya, Azizi tertawa. "Becanda gue, tegang banget muka lo." Azizi merangkul bahu Adel, sementara Adel hanya memaksakan tawanya. "Marsha gak akan ngelakuin itu sama orang lain, gue percaya sama dia, di dunia ini gak ada yang lebih setia dari dia."
"I-iya, gue percaya, gue mandi dulu ya." Adel melepaskan rangkulan Azizi dan buru-buru berjalan masuk ke dapur. Adel mengatur nafasnya yang terengah-engah, tatapan apa itu tadi? Kenapa sangat menyeramkan?
"Kamu kenapa?" Marsha yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menatap Adel bingung. "Baik-baik aja?"
"Aku baik." Tanpa mau saling pandang dengan Marsha, Adel segera masuk ke kamar mandi dan menguncinya. Adel bersandar di pintu, ia masih berusaha mengatur nafasnya. Untuk pertama kalinya, ia takut melihat tatapan Azizi, ini sangat aneh sekali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE [END]
FanfictionBagaimana jika enam Dokter muda ditugaskan ke daerah terpencil? Dituntut untuk dewasa dan mandiri, memegang tanggungjawab besar di tengah banyaknya masalah. Apakah mereka bisa melewatinya dengan baik?