"Hubungan kamu sama Azizi baik-baik aja?"
Marsha yang sedang mengolesi ayam dengan kecap jadi menghentikan gerakannya sebentar untuk menatap Ara. "Sangat baik, kenapa?" tanyanya dengan tatapan memicing curiga, tidak biasanya Ara bertanya seperti ini dan lagi pula, dari mana asalnya pertanyaan itu? Apa akhir-akhir ini Ara memperhatikannya?
"Gapapa." Ara memperbaiki letak arang menggunakan sudut kipas bambunya. Entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya padahal jika diperhatikan memang tidak ada masalah dari hubungan mereka, mereka masih sering bermesraan. Ini pasti karena ia terlalu lelah makanya ia berpikir aneh tentang mereka.
"Baik-baik aja kok." Marsha menarik napas dalam dan diembuskan perlahan, detak jantungnya selalu tidak beraturan jika sudah membahas soal hubungan.
"Udah hampir 10 tahun kalian bersama. Kamu pernah gak merasa jenuh sama dia?" Ara melirik sekilas ke arah Marsha yang terlihat sedikit gugup. Apa pertanyaannya terdengar mengintimidasi? Ara hanya ingin membuka pembahasan karena tidak enak juga dari tadi diam.
"Semua orang pasti pernah jenuh sama pasangannya, aku juga, tapi ya setelahnya aku disadarkan bahwa dia tetap jadi alasan terbesar aku untuk bahagia." Marsha berusaha bersikap santai karena takut gerak geriknya membuat Ara curiga.
"Gimana kalo seandainya kamu menemukan bahagia itu dari orang lain? Apa kamu akan tetap bertahan?" Ara membalikkan ayam bakarnya.
"Aku belum pernah menemukan alasan kebahagiaan aku selain dia." Tidak ada yang bisa Maraha lakukan selain berbohong sekarang. "Ada apa? Tumben nanya-nanya?"
"Aku harap akan terus seperti itu ya." Ara menatap Marsha kemudian tersenyum seraya mengusap pipinya. "Jangan sampai kamu baru menyadari betapa berharganya seseorang ketika kamu tidak menemukan dia di manapun selain dalam penyesalan kamu." Setelah mengatakan hal itu, Ara berjalan masuk untuk menyiapkan hal lainnya.
Marsha menyentuh pipinya yang barusan Ara usap, apa maksud Ara sebenarnya? Ara tidak mungkin mengetahui hubungannya dengan Adel karena jika iya, sudah pasti Ara akan menjauhi Adel.
Chika mengatur napas, berusaha menahan kekesalannya karena sedari tadi sejak ia masak ia tidak berhenti mendengar suara mainan Azizi. Chika mampu menahannya selama satu jam, tetapi suara itu malah semakin keras dan semakin memekakkan telinganya. Chika tidak tahan lagi, ia berdiri dan langsung merebut mainan latto latto itu.
"Lo tau berisik gak? Udah satu jam di sini gue masak buat lo dan lo gak berenti mainin barang aneh ini!!"
"Kok diambil?" Azizi mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari seseorang yang bisa berani melawan. Azizi tersenyum saat melihat Ara masuk, ia menarik tangan Ara dan menunjuk Chika. "Tolong mainannya diambil."
"Sini." Ara mengambil mainan itu dalam genggaman Chika kemudian mengangkatnya lebih dulu tepat di depan Azizi. "Jangan bermain sesuatu yang merugikan orang lain."
Adel yang kebetulan lewat jadi menghentikan langkahnya untuk menatap Ara, ke mana arah pembicaraan Ara? Adel menghela napas lega saat melihat mainan di tangan sahabatnya itu. Tanpa mengatakan apapun, ia melanjutkan langkahnya ke luar rumah. Adel bingung, kenapa ia bisa tegang hanya karena kalimat Ara?
"Ini ambil tapi jangan dimainin kalo orang di sekeliling lo ada yang ngerasa keganggu sama suaranya, ngerti kan?" Ara memberikan mainan itu pada Azizi kemudian tersenyum agar Azizi tidak tersinggung dengan tegurannya.
"Ngerti." Azizi menunjukan cengirannya seraya mengangguk, membawa mainan itu ke kamarnya.
"Dia ngerti kan kalo dilembutin gitu? Gak perlu ngebentak ya lain kali. Bilang dulu baik-baik, Azizi emang selalu bikin onar tapi dia bukan orang bodoh yang gak bisa diingatkan." Tanpa melunturkan senyumannya, Ara mengusap pipi Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE [END]
FanfictionBagaimana jika enam Dokter muda ditugaskan ke daerah terpencil? Dituntut untuk dewasa dan mandiri, memegang tanggungjawab besar di tengah banyaknya masalah. Apakah mereka bisa melewatinya dengan baik?