Chika menggeliat sebelum membuka mata, pandangannya langsung tertuju pada jam dinding yang menunjukan pukul enam pagi. Chika menguap lebar, ia menyadari ini bukan kamarnya. Chika menoleh, mendapati Azizi sedang tertidur dengan selimut yang sama dengannya, bukan itu yang jadi pusat perhatiannya, tetapi bahu Azizi yang tidak terbalut sehelai benangpun. Chika meneguk ludahnya sambil perlahan menunduk, air matanya jatuh ketika melihat ia tidak mengenakan pakaian. Apa yang semalam ia lakukan?
"Apa yang lo lakuin Azizi?!"
Azizi yang memang mudah terbangun tentu langsung terperanjat kaget dan menoleh, betapa terkejutnya ia melihat Chika menatapnya tajam dengan mata merah berair. Azizi melirik ke arah bahu Chika, "Ng-ngga mung-" Azizi lemas saat melihat ke arah tubuhnya, tidak mendapati ada pakaian sedikitpun di sana. Kenapa ini bisa terjadi? Azizi langsung berdiri, mengambil handuk kimono milik Marsha yang tergantung lalu memakainya.
"Tega lo tidurin temen lo sendiri?!" Chika berdiri, menutupi tubuhnya menggunakan selimut yang ia gulung. "Gue pacar sahabat lo, anjing!" Satu tamparan keras mendarat di pipi Azizi.
"Ki-kita sama sama mabuk, kita mabuk, gue gue gue-" Azizi sama sekali tidak bisa berpikir, kepalanya terasa sangat sakit sekarang.
"Tega lo!!" Chika mengguncangkan tubuh Azizi dengan sangat keras sebelum mendorongnya. Tubuh Chika terduduk lemas di lantai, Chika menunduk, menangis sejadi-jadinya. "Gue benci sama lo!!!"
"Bukan cuma gue yang salah! Gue gak mungkin bisa nyentuh lo kalo lo gak ngelakuin hal yang sama!" Azizi memukul lemari dengan sangat keras sampai buku tangannya kesakitan. Air matanya menetes, bagaimana nasib persahabatan dan hubungannya sekarang?
"Apasih masih pagi udah-" Ashel menggantungkan kalimatnya ketika melihat pakaian Azizi dan Chika yang tergeletak sembarangan di lantai. Ashel sangat shock, ia bahkan sampai harus membuka mulut untuk memasukkan oksigen ke dalam dadanya. "A-apa yang kalian lakuin?" Mata yang mulai berkaca-kaca kini Ashel bergetar.
"Keluar!! Gue gak mau liat lo!!" Chika kembali berdiri, mendorong tubuh Azizi jauh lebih keras lagi sampai Azizi terbanting ke lantai. "Keluar anjiiiing!!!" Chika menjerit lebih keras lagi seiring dengan tubuhnya yang semakin merunduk ke lantai. Ia sudah membuat kesalahan besar dalam hidupnya.
Azizi berjalan keluar dari kamar Marsha, ia terduduk lemas di sofa, memandang nanar kedua tangannya sendiri. Detik berikutnya, Azizi mengamuk, melemparkan semua botol di meja dan menjerit begitu keras. Azizi sampai memukul kepalanya berkali-kali, menyesali kebodohan yang sudah ia lakukan.
"Toloool!!" Azizi mengambil botol bekas yang masih utuh lalu dilemparkan dengan begitu keras ke arah TV sampai TV berukuran besar itu hancur. Tidak puas sampai di situ, Azizi menghancurkan PS miliknya, ia menghancurkan semua yang ia lihat.
"Cukup!" Ashel memeluk Azizi dengan sangat erat, menariknya untuk menepi ke sudut ruangan karena ruangan ini dipenuhi oleh pecahan beling. Air mata Ashel ikut menetes ketika Azizi menangis terisak dalam pelukannya. "Ini bukan hanya salah kamu, udah cukup. Tolong." Ashel mengeratkan pelukannya, berusaha menghentikan berontakan dari Azizi.
"A-aku khi-khianatin Marsha, a-aku nyakitin Ara, aku brengsek, aku tolol!!" Azizi memukul kepalanya sendiri sebelum membalas pelukan Ashel dan menangis sejadi-jadinya.
Ashel mengembuskan napas panjang, menengadahkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang hendak kembali menetes. Namun, usahanya nihil, cairan itu keluar dengan sendirinya diikuti oleh tetesan lain. Bagaimana cara ia menjelaskan ini pada sahabatnya yang lain? Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa ia tidak menahannya semalam?
Satu jam berlalu, di sisi lain, Ara baru terbangun dari tidurnya. Ara sedikit terkejut melihat sinar mentari yang menandakan hari sudah pagi, padahal ia berniat pulang setelah melakukan itu dengan Fiony. Ara berdiri, memakai pakaiannya secara sembarang dan kembali duduk saat sadar nyawanya belum terkumpul. Satu kekhawatirannya sekarang, ia takut Chika mengetahui ia sudah pulang semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE [END]
FanfictionBagaimana jika enam Dokter muda ditugaskan ke daerah terpencil? Dituntut untuk dewasa dan mandiri, memegang tanggungjawab besar di tengah banyaknya masalah. Apakah mereka bisa melewatinya dengan baik?