20

25 1 0
                                    

Kelar belanja di supermarket dan bergegas pulang, pemandangan aneh menyuguhi setelah sampai di halaman ada mobil dengan warna dan plat yang familiar, mobil putih dan itu ku pastikan mobil  Rachel, perasaanku mulai nggak enak,
dia juga nggak konfirmasi sebelum kesini.

Di ambang pintu aku mendengar suaranya riuhnya seperti bermain dengan Sarah, se pagi ini Rachel kemari.

Mataku membelalak, melihat cara mereka bermain dan kondisi orang-orang. Rachel dan Sarah bermain sepedaan, Rachel mengemudi dan Sarah yang mendorongnya dari belakang itu gimana konsepnya sih, sedangkan Pak Arsel santai bermain ponsel di sofa, sepertinya belum mandi pakai kaos dan celana pendek, sangat pendek hingga mengekspose pahanya yang seputih susu, mana pose duduknya petakilan gitu membuatku silau aku butuh kaca mata.

Aku menghampiri Rachel, khawatir sepeda akan di rusak olehnya karena sepeda tidak mendukung bobot badannya.

"Anak raja minyak dari mana lo, berani bener suruh-suruh majikan gue."

Ia tersentak, Pak Arsel juga mendengar suaraku ia menoleh, memang ia gak sadar kedatanganku. Rachel buru-buru turun dari sepeda dan menampilkan senyum tanpa dosa.

"Oh my God emaknya ngamuk."

Bisik Rachel tapi masih bisa ku dengar.

"Ngapain sih lo kesini?"

"Aku yang ajak, nggak apa-apa biar rame." Sahut Pak

Aku menatap Pak Arsel, ia berkedip dan mengangguk padaku tanda agar aku tidak khawatir karena kedatangan Rachel. Dan Rachel merasa Pak Arsel di pihaknya ia malah pargoy di ikuti Sarah, heran kedua bocah kompak joget-joget,
Pak Arsel balik badan menyembunyikan tawanya.

Ya sudahlah, suka-suka mereka, aku bergegas ke dapur membawa belanjaan sekalian bantuin Bu Nyimas masak.

Sebenarnya kedatangan Rachel membuatku mendapat sedikit celah, aku ingin keluar menemui seseorang.
Rachel bisa menjaga Sarah hingga sore, tapi alasan yang membuatku bingung, apa yang harus ku ucapkan pada Pak Arsel.

***

Setelah drama akhirnya aku bisa keluar, seperti biasa Pak Arsel tidak terlalu protektif padaku, seminggu ini aku sudah izin dua kali.

Berbeda dengan Rachel, yang menuntut penjelasan, ia nampak kesal setelah tau, ya aku jujur saja padanya dari pada ia akan terus mengulik, apa lagi aku berpakaian rapi dan sedikit riasan.

Aku menggunakan mobil Pak Arsel, ia selalu menawarkan untuk aku menggunakan mobilnya. I'm heartwarming banget punya bos yang hatinya baik banget.

Aku mendeteksi keberadaan orang yang berulang kali mengajakku ketemu. Ya dia Fahmi Kai, entah berapa lama ia duduk di sana, dulu dan sekarang ia tetap sama tiap akan bertemu maka dia yang stay menunggu.

"Hay, sorry nunggu lama." Sapaku.

"Nggak apa-apa."

Ia menatapku sejenak, aku tau kali ini aku berbeda, aku juga merasa begitu suasana hatiku sangat baik dan itu memancar keluar menjadi aura positif yang terlihat.

"Bapak nggak ngantor?" Tanyaku basa-basi.

"Nggak, karena sedang bertemu denganmu."

Iya juga sih.

"Gimana di kantor Bapak, apa masih ada karyawan bertahan seangkatan denganku."

Aku liat matanya berkedip lebih cepat dan cenderung ia melihat ke arah kanan.

"Aku nggak ingat, tapi ada karyawan yang bertahan bertahun-tahun."

"Saya jadi kangen suasana kantor bolehkah nanti saya berkunjung?."

Ia tersenyum, tak sengaja aku lihat satu kakinya bergerak terus, otakku seketika mengonfirmasi seperti ia tak nyaman, ia tunduk dan menghindari kontak mata. Oh, mengapa aku jadi ahli bahasa tubuh.

Bisa jadi ia lelah bekerja dan tak mau membahas soal pekerjaan sekarang.

"Kantor sedang renovasi, kalau sudah selesai kalau mau datang silahkan, tapi alamat kantor bukan di tempat yang dulu." Akunya.

Ponselku berdering, untunglah membantuku keluar dari bahasan pekerjaan, karena bisa jadi dia juga akan bertanya banyak tentang pekerjaanku.

Notifikasi dari group ngadi-ngadi.

Rachel: Kalau orang terlanjur bucin akut, mau di nasehatin pake speaker hajatan sekampung bakal percuma, nggak akan di dengar.

Samatha: Nggak letih tuh hati?

Rachel: Heran aja gue Sam, jutaan populasi di dunia, stuck di satu orang tanpa kepastian.

Samatha: Biarlah suka-suka dia tapi ntar sad lagi larinya jangan mumet di kita ya.

Itu sindiran, Samatha dan Rachel sedang menyindirku, karena aku terus terang akan menemui Fahmi Kai, aku tau mereka tidak suka aku kembali berinteraksi intens.

Aku nggak nimbrung pada percakapan mereka, biar saja, mereka akan mengerti suatu saat nanti.
Mereka juga akan mengerti bahwa aku sedang tidak memperjuangkan perasaanku pada Fahmi Kai, perasaan sayang ini saja yang terbentuk kuat hingga susah hilang, itu yang menuntunku hingga bertemu saat ini.

Aku kembali memasukkan ponsel dalam tas, nggak mau sibuk dengan ponsel hingga lawan bicaraku merasa terabaikan. Aku masih ingat dia tidak suka seseorang berbicara tapi juga fokus pada ponsel. Oh, bahkan aku masih ingat detail kecil padanya ia sering menilai attitude seseorang dalam diam.

ResumeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang