26

9 0 0
                                    

   Dua Minggu berlalu rasanya begitu cepat, dan tinggal dua minggu juga kesepakatan kerjaku berakhir dengan Pak Arsel, sebelum aku keluar dia masih akan menggaji untuk bulan ke dua dan rencananya gaji itu tidak akan kuambil guna menyicil uang belajar kelas data.

Ibu Pak Arsel juga telah dua minggu disini, sikapnya terhadapku masih sama, ia masih kurang suka padaku entah apa penyebabnya.

Ponselku berdering dan itu dari Fahmi Kai. Oh mengapa hubungan tak jelas ini serasa membuatku jadi tahanan kota mesti wajib lapor, kegiatan apapun harus saling mengabarkan. Seperti sekarang ia memotret tumpukan dokumen lalu ia potret dan kirim padaku mengabarkan kalau ia lagi sibuk, dan aku membalasnya sama. Aku liat Ibu Pak Arsel melirikku, aku cepat-cepat menyimpan ponsel, selama beliau di sini rasanya ruang gerakku semakin terbatas, dan soal materi data aku zoom dengan mentor di malam hari.

Dua minggu aku tidak pernah keluar bahkan ke mini market yang jaraknya dekat, karena aku tidak suka tatapan Ibu Pak Arsel seolah memergoki ku sedang melakukan kesalahan.

Aku kadang tertawa, menertawai para menantu Ibu yang satu ini, hidup mereka pasti tertekan sepertiku, atau anggapanku saja mereka satu keluarga tapi aku hanya baby sitter

"Kalau mau jalan, ya jalan saja! Kamu mungkin bisa bawa Sarah ke time zone, nggak bosen apa di rumah terus."

Apa itu suara dari Surga?

"Mereka kau biarkan jalan berdua saja?" Tanya sang Ibu nampak keberatan

"Mami mau ikut? Atau apa perlu kami jalan bertiga?"

"Enggak, Mami nggak mau ikut, baiklah Restu jaga Sarah baik-baik di luar jangan jajan sembarangan."

Yes, seperti aku berteriak tanpa suara, Pak bos memang yang terbaik tau aja aku sangat bosan. Aku segera menggendongnya Sarah ke kamar untuk ganti pakaian, hari akan ke time zone, lalu pengen ke rumah Samatha, kangen mereka, ada kesempatan tapi nggak mungkin nge-date dengan Fahmi Kai.

Kamarku di buka tiba-tiba, dan Ibu Pak Arsel muncul menyodorkan pakaian yang masih dalam plastik

"Pakai ini untuk jalan keluar bersama Sarah."

Pakaian itu meski masih dalam plastik, aku tau itu sepasang pakaian umum di pakai seorang baby sitter. Aku speechless menerimanya.

"Nggak apa-apa kan? Kamu itu baby sitter nya nanti orang-orang kira kamu  Ibunya."

What the hell? Segitu tidak sukanya kah dia sama aku sehingga anggapan orang-orang hendak ia patahkan, aku dianggap Ibu dari Sarah anggapan sepele ia tak sudi.

"Kenapa bengong."

"Maaf Bu, tapi aku nggak pernah pakai ini." Jawabku menahan kekesalan

"Kamu nggak pernah pakai pakaian pengasuh?"

"Pak Arsel tidak pernah memberiku pakaian baby sitter."

Aku menunduk, so aku sangat berat untuk memakainya, apalagi memakainya berkeliaran di luar rumah.

"Mami nggak perlu, Restu nggak perlu baju seperti itu."

"Ini harus dong, kan bisa di bedain siapa pengasuh dan siapa keluarganya."

"Nggak ada beda bagiku Mi."

"Mami nggak mau di bantah, Restu harus pakai ini."

Ia menyodorkan, tapi di rebut oleh Pak Arsel.

"Sel, pengasuh Sarah sebelumnya biasa memakai seragam baby sitter."

"Please Mi."

Aku nggak tahan melihat ketegangan itu, aku meraih pakaian dari tangan Ibu Pak Arsel.

"Aku akan memakainya."

Pak Arsel menyipitkan mata menatapku.

"Nggak apa-apa, aku bisa memakainya."

Lalu aku meninggalkan perdebatan mereka dengan menutup pintu kamar, meski mereka masih bersitegang diluar.

Dan aku? Yang bisa ku lakukan meyakinkan diri bahwa baju baby sitter yang hendak ku pakai tidak terlalu buruk, dan persetan dengan pandangan orang. Dengan memakai ini aku tetap dianggap orang yang bekerja dan bekerja itu jauh lebih baik dari pada pengangguran.

Aku menatap pantulan diriku di cermin dan menahan air mata agar tak jatuh dengan senyuman, getir rasanya seseorang memperlakukan ku seperti ini. Tiba-tiba aku merindukan Mama, merindukan Samatha dan Rachel.

Oh ada apa denganku ini hanya masalah kecil, aku cukup memakainya, tak banyak yang ku kenal dan mengenalku di Jakarta.

Aku keluar, aku liat Pak Arsel mondar-mandir, aku menebak apa yang ia pikirkan, nggak apa Pak anda baik dan selalu berusaha yang terbaik untuk ku, hanya kali ini anda tidak bisa  kendalikan ke inginan sang Ibu.

Kemudian ia menatapku

"Kamu benar-benar memakainya?"

"Nggak apa-apa Pak, ini masih terlihat keren."

Ia mendekat dan menyodorkan kartu kreditnya, ia lebih dekat untuk berbisik padaku.

"Kamu singgah di toko baju terdekat, kamu beli dan ganti baju di sana."

"Ini nggak perlu Pak, suer nggak apa-apa."

Masih mencoba menghibur

"Tapi aku nggak suka liatnya."

"Tapi benar kata Ibu Pak Arsel orang bisa mengira aku Ibunya."

"kalau orang lain mengira kau Ibunya aku fine aja, Sarah bersamamu anteng tapi sama aunty nya di Surabaya Sarah rewel sampai aunty nya nge reog."

Sekali lagi ia menyodorkan kartu kreditnya.

"Baiklah Pak, terimakasih."

Oh, Pak Arsel lucky banget orang-orang yang bersamamu. Semoga anda sehat panjang umur, Rezki banyak terus, dan dapat jodoh yang baik juga.






ResumeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang