Oleh : Oktana Tirta Yaomaesa
Senja telah melewati puncaknya, menyisakan warna keemasan yang perlahan-lahan berbaur dengan rona ungu di cakrawala. Di tengah keheningan alam yang seakan berbisik lirih, Ona berdiri di tepi danau, memandang dalam-dalam pada permukaan air yang tenang seolah mencari bayangan masa lalunya yang terpantul di sana.Danau itu dulunya menjadi saksi kebahagiaan yang pernah ia rasakan. Kini yang tersisa hanya menjadi tempat ia menyusuri setiap kepingan kenangan yang tersembunyi di dalam hatinya.
Langit di atasnya mulai berubah warna, dari jingga yang membara menjadi semburat merah yang lembut, sebelum akhirnya ditelan oleh gelapnya malam.Ona terhanyut dalam keheningan yang begitu pekat seakan-akan waktu berhenti berputar dan hanya menyisakan dirinya, berdiri di antara kenyataan dan ilusi. Angin malam berhembus lembut, menyapu rambutnya yang tergerai membawanya kembali ke masa-masa ketika kebahagiaan masih menemani setiap langkahnya. Namun kini, kebahagiaan itu hanya tinggal kenangan yang terus menghantui setiap detiknya.
Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah-olah kaki-kakinya terjerat oleh rantai kenangan yang tak ingin melepaskan. Ia melangkah menuju bangku kayu tua di tepi danau, bangku yang sudah lapuk dimakan waktu namun masih kokoh berdiri. Ona duduk di sana, merasakan dinginnya kayu yang kontras dengan kehangatan senja yang perlahan memudar. Di tempat inilah, di bangku inilah, Ona dan Rully pernah berbagi kisah dan cinta yang kini hanya tinggal bayang-bayang yang samar.
Tatapannya terpaku pada permukaan danau yang tenang, di mana warna-warna senja yang memudar memantulkan pantulan lembut di atas air. Ona menundukkan kepala, membiarkan air matanya jatuh perlahan ke pangkuan tanpa ada niat untuk menahan. Setiap tetesan air mata yang jatuh membawa serta rasa sakit dan kerinduan yang mendalam, seolah-olah dengan menangis ia bisa melepaskan sebagian dari beban yang menghimpit hatinya.
Seiring dengan meredupnya cahaya senja, suara langkah kaki terdengar mendekat, berat namun lembut menyentuh tanah dengan keengganan yang penuh makna. Ona tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang datang; setiap derap langkah itu begitu akrab, seolah ia telah mengenalnya sepanjang hidupnya. Rully, sosok yang dulu selalu hadir di sisinya, kini kembali dalam senja yang berbisik, membawa serta kerinduan yang tak terkatakan.
"Kau kembali," suara Rully terdengar lembut, seperti bisikan angin yang menyusuri permukaan danau, namun penuh dengan beban perasaan yang telah lama tersembunyi.
Ona tetap memandang ke depan, menahan gemuruh di dadanya yang hampir meledak. "Aku tak pernah benar-benar pergi," jawabnya dengan suara yang nyaris tenggelam dalam keheningan malam yang mulai merasuk. "Tempat ini selalu memanggilku, seolah ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang terus mengusik dalam kesunyian ini."
Rully duduk di sampingnya, membiarkan keheningan yang pekat menyelimuti mereka berdua. Mata Rully menatap lurus ke depan pada horizon yang memudar, namun hati dan pikirannya terpusat pada Ona, sosok yang tak pernah bisa ia lupakan meskipun waktu terus bergulir. "Kenangan itu tak pernah benar-benar hilang," gumamnya, suaranya bergetar, dipenuhi oleh rasa sesal yang mendalam. "Aku tahu bahwa apapun yang kita lakukan, kita tak akan pernah bisa sepenuhnya melupakan apa yang telah terjadi."
Ona merapatkan syal di lehernya, merasakan dinginnya angin malam yang merayap, seolah membawa kembali memori yang paling menyakitkan dalam hidupnya."Malam itu masih terpatri jelas dalam ingatanku," katanya dengan suara yang bergetar, nyaris pecah oleh emosi yang selama ini ia pendam dalam diam. "Bagaimana kau pergi tanpa sepatah kata dan keesokan harinya, segalanya berubah menjadi mimpi buruk yang tak pernah aku bayangkan."
Rully menundukkan kepalanya, sejenak menutup mata, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama terpenjara dalam hatinya. "Aku tidak ingin kau melihatku hancur, Na," bisiknya lirih, namun pasti. "Aku ingin kau mengenangku sebagai seseorang yang pernah membuatmu bahagia, bukan sebagai sosok yang pudar bersama waktu."
Ona menoleh, menatap Rully dengan mata yang dipenuhi kerinduan yang tak terperi dan luka yang tak kunjung sembuh. "Namun, kau tetap pergi," suaranya bergetar, tak mampu menyembunyikan luka yang masih menghunjam dalam di hatinya. "Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup tanpamu di sisiku? Tanpa cahaya yang dulu kau bawa dalam setiap hariku?"
Rully mengangkat tatapannya, matanya bertemu dengan mata Ona, sepasang mata yang dulu ia cintai dengan segenap hatinya."Kau harus belajar untuk melepaskan, Na. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menerima bahwa cinta kita tetap ada, meski tanpa kehadiran fisik satu sama lainnya. Aku selalu ada di sini, selalu...," katanya sambil menyentuh dadanya, tempat di mana hatinya pernah penuh oleh cinta untuk Ona, "di dalam hatimu."
Akhirnya, air mata yang sedari tadi tertahan, mengalir deras tak terbendung lagi. Ona mengangguk pelan, menyadari bahwa meskipun Rully tak lagi hadir di dunia ini, cintanya tetap hidup, mengalir dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap hela napasnya yang terasa berat namun penuh makna di dalamnya.
"Kau benar," bisik Ona, suaranya nyaris hilang ditelan isak tangis yang semakin kuat. "Cinta kita tak pernah benar-benar hilang. Ia menjadi bayang-bayang yang akan selalu hidup dalam hatiku, menjadi cahaya yang membimbingku dalam langkahku."
Rully tersenyum, sebuah senyuman yang Ona kenali dengan sangat baik, senyuman yang penuh kehangatan dan cinta yang tulus. "Dan bayang-bayang itu akan selalu menemanimu, dalam setiap langkahmu ke depan. Jangan takut pada masa lalu, Na, karena masa depan masih menantimu untuk kau hiasi dengan kebahagiaan baru. Jangan biarkan masa lalu mengurungmu dalam kenangan, karena ada cahaya yang menantimu di ujung jalan ini."
Langit yang tadi berwarna jingga kini mulai diselimuti kegelapan malam, namun bintang-bintang yang berkilauan mulai bermunculan, menghiasi malam dengan cahayanya yang lembut. Di bawah langit yang bertabur bintang, Ona menemukan kekuatan untuk berdamai dengan masa lalunya, untuk merangkul kenangan tanpa terkurung oleh mereka. Senja yang tadinya terasa begitu berat berubah menjadi malam yang penuh harapan, membawa Ona pada langkah baru yang siap ia tapaki, dengan cinta yang tak pernah memudar sebagai penerangnya.
Ona berdiri, meninggalkan bangku kayu yang pernah menjadi saksi bisu dari cintanya yang mendalam. Rully menatapnya dengan pandangan yang lembut, seolah ingin memberikan kekuatan terakhir yang ia miliki. "Aku akan selalu di sini, Na. Wo ai ni," bisik Rully sekali lagi, sebelum sosoknya perlahan menghilang, terserap dalam kegelapan malam.
“ Wo ye ai ni, Rully.” Ona menghembuskan napas panjang, merasakan beban yang selama ini menghimpitnya perlahan-lahan menguap. Dia tahu, langkahnya ke depan tidak akan mudah, tapi kini dia punya kekuatan baru. Ona menatap langit, membiarkan senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh bekas air mata. Masa depan menantinya, penuh dengan kemungkinan dan cahaya yang akan ia ciptakan sendiri.
Dengan langkah yang lebih mantap, Ona berjalan menjauh dari danau itu, meninggalkan masa lalu di belakangnya, dan membawa serta cinta yang akan selalu hidup dalam hatinya, selamanya.
____________________________________________________________________
Oktana Tirta Yaomaesa, gadis asal Pacitan kelahiran 2003 yang sangat hobby menjelajahi keindahan kata dengan sentuhan magis. Setiap goresan pena adalah karya seni menurutnya, mencerminkan kedalaman jiwa dan keindahan makna dalam setiap goresannya. Ikuti perjalanan kreativitasnya di Instagram: @goaotyona.

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja di Naungan Renjana
Short StorySEBELUM BACA, FOLLOW, KOMEN, DAN VOTE TERLEBIH DAHULU YA!