Senja Terakhir di Ujung Jalan

35 29 79
                                    

Oleh : Oktana Tirta Yaomaesa

Langit sore itu memerah, seolah membara dalam senyap. Senja di ufuk barat memeluk horizon dengan keindahan yang tak tergambarkan. Di tepi jalan setapak yang membelah ladang ilalang, Oty berdiri diam, pandangannya menatap lurus ke langit yang perlahan meredup. Angin sore membelai rambutnya, seakan merangkai bisikan tentang kenangan yang ingin dia lupakan, namun tak pernah mampu benar-benar hilang.

Di sampingnya, Arlly ikut terdiam, kedua tangannya berada di saku jaketnya. Matanya yang cokelat tajam mengamati perubahan warna di cakrawala, tapi pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya tertuju pada Oty. Wajahnya tampak jauh, meski jarak di antara mereka sangat dekat.

“Kamu tahu, Arlly,” Oty membuka suara setelah keheningan yang panjang. Suaranya terdengar berat, mengambang di udara seperti debu yang tak terlihat. “Senja selalu membuatku berpikir tentang akhir. Segalanya selalu berakhir.”

Arlly menoleh perlahan, memandang wajah Oty yang penuh luka yang tidak pernah ia ungkapkan. Senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang dipenuhi kegetiran yang hanya dia sendiri yang tahu. “Kenapa kamu selalu memikirkan tentang akhir?” tanyanya lembut, suaranya pelan tapi menggetarkan hati Oty. “Senja nggak selalu tentang akhir. Mungkin, itu bisa menjadi permulaan sesuatu yang baru.”

Oty terdiam, menarik napas panjang seakan ingin menenangkan badai kecil di dalam dirinya. Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan kata-kata Arlly tenggelam dalam pikirannya yang kusut. “Permulaan? Aku nggak tahu, Arlly,” jawabnya dengan suara serak. “Buatku, setiap senja hanya mengingatkan kalau sesuatu yang indah pasti akan berakhir. Itu selalu terjadi.”

Arlly mengerutkan kening, merasakan kepedihan dalam setiap kata yang keluar dari bibir Oty. Dia tahu, ada hal-hal yang selama ini Oty simpan dalam diam. “Mungkin,” katanya akhirnya, “kamu melihat senja dengan cara yang berbeda, karena kamu takut akan sesuatu. Takut kehilangan, mungkin?”

Oty membuka mata, menatap Arlly dengan tatapan yang menyimpan seribu pertanyaan. “Bagaimana kamu tahu aku takut?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. “Kehilangan adalah bagian dari hidup, kan? Tapi kenapa rasanya setiap kali senja datang, aku takut hal-hal yang aku cintai akan lenyap begitu saja?”

Arlly menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke arah senja yang semakin tenggelam. “Kamu benar,” ujarnya sambil menyentuh bahu Oty dengan lembut. “Kehilangan memang bagian dari hidup. Tapi itu bukan alasan untuk kita berhenti menikmati apa yang kita punya sekarang. Senja nggak berarti kita akan kehilangan segalanya. Malah, mungkin dia hadir untuk mengingatkan bahwa setiap hari adalah kesempatan baru.”

Oty terdiam. Kata-kata Arlly seperti angin yang meredakan panas matahari sore. Perlahan, dinding yang dibangun dalam hatinya mulai retak. Dia tidak bisa menyangkal, ada rasa nyaman setiap kali berada di sisi Arlly. Tapi perasaan itu bercampur dengan ketakutan akan kehilangan.

“Aku nggak mau kehilangan kamu, Arlly,” ucap Oty dengan suara bergetar, seakan seluruh dunia telah mengendap di dadanya. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi dia menahannya. “Kalau ini senja terakhir kita, aku nggak tahu harus bagaimana.”

Arlly tersenyum, tapi senyum itu penuh kesedihan yang ia coba sembunyikan. “Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Oty. Tapi kita nggak bisa hidup terus-terusan takut akan sesuatu yang belum tentu terjadi.”

Suara Arlly seolah menenangkan badai kecil di dalam hati Oty, meski rasa takut itu belum sepenuhnya hilang. Oty mendesah pelan, akhirnya menatap Arlly dalam-dalam, mencoba memahami apa yang ada di balik mata cokelatnya. “Bagaimana kalau… kalau senja ini benar-benar yang terakhir, Arlly?” tanyanya, suaranya hampir pecah. “Apa yang akan kamu lakukan?”

Arlly tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke langit yang mulai menggelap. “Aku akan menikmati setiap detiknya,” jawabnya tanpa ragu. “Aku nggak akan membiarkan rasa takut menghalangiku untuk merasakan keindahan yang ada di depan mata.”

Oty terhenyak. Ada sesuatu dalam cara Arlly berkata-kata yang membuat hatinya sedikit tenang. Mungkin benar. Mungkin, selama ini ia terlalu sibuk memikirkan kehilangan, sampai lupa menikmati apa yang ada di hadapannya sekarang.

“Mungkin kamu benar, Arlly,” katanya akhirnya, suaranya lebih lembut sekarang, seperti embun yang turun pelan-pelan. “Mungkin aku terlalu takut untuk melihat keindahan senja ini, karena aku selalu berpikir semuanya akan berakhir. Tapi kalau memang harus berakhir, aku ingin senja ini menjadi sesuatu yang aku ingat selamanya.”

Arlly menatap Oty dengan senyum yang lebih hangat. “Kalau begitu, mari kita nikmati senja ini, Oty. Mari kita buat kenangan yang tidak akan pernah kita lupakan.”

Mereka berdua kembali terdiam, memandangi langit yang perlahan berubah gelap. Tidak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, hanya ada kehangatan yang tumbuh dalam keheningan mereka. Mungkin senja akan berakhir, seperti semua hal dalam hidup. Tapi senja juga selalu kembali, dengan warna yang baru, dengan harapan yang baru.

Dan di senja itu, Oty tahu, bahwa meskipun ada ketakutan, selama ada seseorang seperti Arlly di sisinya, dia tidak akan pernah benar-benar kehilangan segalanya.

Senja di Naungan RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang