Senja yang Tak Terucap

14 3 0
                                    

Oleh : Oktana Tirta Yaomaesa

Senja itu, langit membara dengan warna jingga yang perlahan memudar di balik horizon. Di tepian pantai yang sunyi, hanya ombak yang bersahutan dengan lembut, memeluk pasir dengan kehangatan yang dingin. Oty duduk di atas pasir, memeluk lututnya erat, matanya menatap lurus ke arah laut yang tak berujung. Di sebelahnya, Arlly berdiri, memandangi matahari yang semakin tenggelam, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tak pernah terucap.

“Oty...” suara Arlly terdengar pelan, namun dalam. Ia melirik sekilas, melihat wajah Oty yang diterangi sisa-sisa cahaya senja. “Kamu tahu, ada sesuatu tentang senja yang selalu membuatku merasa... kosong.”

Oty mendongak, menatap Arlly dengan pandangan yang penuh pertanyaan. “Kosong?” suaranya terdengar bingung, tapi ada kehangatan di sana. “Bukankah senja selalu indah? Orang-orang bilang, senja itu seperti lukisan terakhir sebelum malam mengambil alih.”

Arlly tersenyum tipis, senyum yang tak sepenuhnya bahagia. “Iya, indah. Tapi keindahan senja itu selalu berakhir, Oty. Saat kita terlalu terpaku pada keindahannya, tahu-tahu... langit sudah gelap.”

Oty mengerutkan kening, berusaha memahami makna di balik kata-kata Arlly. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, seperti senja yang menunggu untuk benar-benar tenggelam.

“Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Arlly?” tanya Oty lembut, suaranya nyaris tak terdengar.

Arlly menghela napas panjang, pandangannya masih terpaku pada langit yang kini hampir sepenuhnya berubah kelabu. “Aku memikirkan kita, Oty,” katanya lirih, matanya masih tak beralih dari cakrawala. “Kita seperti senja, begitu indah pada awalnya... tapi semakin lama, semakin memudar.”

Kata-kata itu menusuk Oty seperti angin dingin yang tiba-tiba datang. “Maksudmu... hubungan kita?” tanyanya pelan, seakan takut mendengar jawabannya.

Arlly menunduk, tak berani menatap mata Oty. “Iya. Aku merasa... kita semakin jauh. Kita masih di tempat yang sama, tapi hati kita sudah berjalan ke arah yang berbeda.”

Oty terdiam. Jantungnya berdegup kencang, seakan menolak untuk percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Matanya memandangi laut yang tak lagi biru terang, melainkan gelap dan dalam. “Kenapa kamu tidak pernah bilang?” tanyanya dengan suara yang bergetar.

“Aku takut,” jawab Arlly dengan suara serak. “Aku takut mengatakannya akan merusak semuanya. Tapi, semakin lama kita diam, semakin terasa kalau kita hanya bertahan karena kenangan... bukan karena cinta yang dulu kita rasakan.”

Oty menelan ludah. Ada perih yang mengendap di dadanya, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan, tapi kini muncul ke permukaan. Dia tahu Arlly tidak sepenuhnya salah. Mereka telah lama berjalan di dua jalan yang berbeda, namun memilih diam karena ketakutan akan kehilangan sesuatu yang pernah mereka hargai.

“Arlly,” Oty akhirnya berbicara, suaranya pelan namun tegas. “Apa kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?”

Arlly menatapnya dalam-dalam, mata mereka bertemu dalam keheningan senja yang hampir sepenuhnya lenyap. “Aku tidak tahu, Oty. Tapi aku juga tidak ingin kita terus berpura-pura. Kita berhak untuk bahagia, dan mungkin, kebahagiaan itu tidak lagi bersama.”

Oty merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya, tapi ia berusaha menahannya. Ia tidak ingin menangis. Bukan karena ia marah, tapi karena ia tahu, ini adalah kenyataan yang harus mereka hadapi bersama. “Kamu benar,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Kita tidak bisa terus seperti ini.”

Keheningan itu kembali, tapi kali ini terasa lebih berat. Oty memandangi langit yang sudah sepenuhnya gelap, hanya sisa-sisa jingga yang terlihat jauh di ufuk. “Senja sudah benar-benar hilang,” gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.

Arlly mengangguk, matanya mengikuti arah pandang Oty. “Dan malam telah datang,” katanya dengan nada yang seakan menyetujui keheningan itu.

Oty berdiri perlahan, mengusap pasir dari pakaiannya. Ia menatap Arlly sekali lagi, dengan tatapan yang penuh kenangan, namun tanpa penyesalan. “Terima kasih, Arlly. Untuk senja-senja yang pernah kita lalui bersama.”

Arlly hanya bisa tersenyum pahit, senyumnya penuh arti, namun berat. “Aku juga, Oty. Terima kasih untuk segalanya.”

Mereka berjalan beriringan, meski dalam diam mereka tahu, langkah-langkah itu tak lagi menuju arah yang sama. Di bawah langit malam yang mulai gelap, dua hati yang dulu saling terikat, kini perlahan melepaskan. Seperti senja yang berakhir, perpisahan ini adalah akhir dari satu keindahan, untuk memberi ruang pada fajar yang baru.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja di Naungan RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang