27. Kilas Balik: Terlahirnya Dia yang Disebut Monster

119 27 0
                                    

Di tengah malam yang dingin, seorang wanita tengah berjuang antara hidup dan mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di tengah malam yang dingin, seorang wanita tengah berjuang antara hidup dan mati. Ia berusaha sekuat tenaga agar buah hatinya bisa melihat dunia. Sang suami setia menemani. Jeritan kesakitan menggema di dalam ruangan yang tak terlalu besar itu.

Betapa bahagianya hati kedua pasangan itu kala mendengar suara tangis. Buah hati yang lama mereka dambakan telah lahir. Setelah menikah bertahun-tahun dan tak kunjung memiliki anak, mereka sangat bersyukur diberi tanggung jawab dari Tuhan.

Kebahagiaan itu memang nyata, tetapi hangus seketika saat wanita yang mengurus persalinan itu menjerit. Hampir saja bayi itu terjatuh jika sang ayah tidak sigap menangkap.

"Kau mau mencelakakan putraku?" Intonasi tinggi itu membuatnya bergidik takut. Sedetik kemudian ayahnya melihat wajah bayinya. Alisnya bertaut, matanya bergerak panik, napasnya mulai memburu.

"Maaf saya tidak bermaksud, tapi putra anda ... ."

"Apa yang terjadi dengan putraku? Kenapa banyak sisik di wajahnya?"

Sang ibu yang mendengar itu perlahan bangkit dan menarik lengan suaminya. Air matanya menetes melihat anaknya yang terlahir tidak sempurna. Memang anggota tubuhnya tidak ada yang cacat, tetapi wajahnya memiliki sisik seperti ular. Tentu hatinya perih melihat anaknya seperti itu.

"Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Anak itu akan membawa petaka!" Dokter yang membantu bersalin itu menggeleng sambil menunjuk dengan rasa takut. Perlahan ia mundur mendekati pintu.

"Apa maksudmu?"

"Aku harus melaporkan ke pihak berwajib, dia itu monster!"

Sang ayah marah, ia memberikan putranya kepada sang istri, lalu mengejar dokter yang hendak melarikan diri. "Diam! Tutup mulutmu itu. Aku tahu ini Demiland yang sangat patuh akan peraturan, tapi pikirkan jiwa yang baru saja melihat dunia ini."

Dokter itu memberontak, separuh wajahnya yang dibekap membuatnya sulit untuk bernapas. "Dia, putraku. Anak itu juga tidak ingin dilahirkan dengan kondisi seperti itu. Kau juga seorang ibu, seharusnya kau tahu bagaimana perasaan istriku."

Perlahan tubuh sang dokter lemas, ucapan penuh tekanan itu membuatnya terintimidasi. Hingga seorang perawat datang dan tak sengaja menjatuhkan nampan yang ia bawa. Mulutnya terbuka saat dokter itu terjatuh dengan kondisi tak bernyawa.

"Tolong! Ada pembunuhan!"

Sang ayah kelimpungan, ia tidak bermaksud untuk membunuhnya. Setelah perawat itu pergi, ia bergegas menghampiri istrinya. Tentu saja dia yakin bahwa perawat itu akan melapor.

"Ayo cepat kita pergi dari sini." Dengan panik ia mengemas barang-barangnya. Sang istri yang mengusap lembut wajah putranya ikut kebingungan saat suaminya menariknya untuk berdiri.

"Ada apa, kenapa kau terburu-buru?"

"Intinya kita harus pergi dari sini."

Tap tap tap

Suara langkah kaki yang terdengar berkelompok itu langsung membuat sang ayah merengkuh istrinya. "Apapun yang terjadi, anak kita harus tetap hidup."

"Apparate."

Hilang, tidak ada siapapun saat para penjaga masuk ke dalam ruangan. Ketua pasukan lantas memerintahkan anggotanya untuk mencari pasangan suami istri itu. Beruntungnya adalah, tidak ada satupun yang tahu anak dari keduanya kecuali sang dokter yang telah tiada.

✧◝(⁰▿⁰)◜✧

Di tengah ramainya kota, mereka terus melangkah cepat. Istrinya sudah basah dengan keringat, tentu rasa sakit setelah melahirkan itu belum hilang dan ia sudah harus berlari-larian.

"Kau pikir di mana kita harus menyembunyikannya? Aku tidak mau berpisah dari anakku."

Suaminya yang masih menarik tangannya itu hanya diam.

"Dia masih bayi, butuh seorang ibu agar bisa bertahan hidup." Wajah lelah itu menatap lamat wajah mungil yang kini tertidur pulas. Tidak jarang mereka bertabrakan dengan orang lain. Mereka berusaha agar wajah anaknya tidak terlihat. Tentu kini mereka kebingungan, tidak mudah hidup di Demiland dengan kelainan seperti itu.

Langkah mereka terhenti saat melihat salah satu penjaga sedang bertanya pada orang-orang di sana. Sang suami langsung menarik istrinya untuk masuk ke dalam gang sempit. Gelap dan bau, mereka meringkuk di dekat selokan dan tumpukan kardus basah yang terkena tetesan air dari pipa rumah warga.

"Bagaimana ini, mereka akan mengetahui keberadaan kita." Sang istri meremat lengan suaminya. Ia memeluk istrinya agar lebih tenang, isak tangis yang tertahan itu begitu memilukan. Ia berusaha tegar agar tidak membuat istrinya semakin khawatir.

"Kau tenang, ya. Sekarang kita amankan bayi kita, aku tidak mau anak ini menjadi buronan." Sang suami memilah kardus yang masih kering. Ia menata alas dengan kain. Perlahan mata itu memandang istrinya yang memeluk erat sang buah hati.

"Lepaskan dia, mereka mengincar kita. Setidaknya nanti kita masih bisa melihatnya meskipun dari jarak yang amat jauh." Ia menunduk, tentu sang istri paham maksud suaminya.

"Ibu akan selalu menyayangimu dan itu tidak akan terputus meskipun ibu sudah tiada." Ia menggendong bayinya untuk diberikan kepada sang kepala keluarga. Mereka mencium kedua pipi mungil itu dengan penuh kasih sayang, seolah ini adalah yang terakhir.

Bayi laki-laki itu diletakkan dalam sebuah kardus, mereka benar-benar memastikan agar tidak kedinginan dan aman dari serangan hewan. Setelah itu, terdengar suara langkah kaki. Mereka berdua begitu pasrah.

"Jangan bergerak!"

Keduanya saling menatap dan memeluk erat satu sama lain, hingga sebuah tombak tajam melesat dan menembus punggungnya sang suami. Istrinya yang melihat itu menangis histeris. Sebelum kesadarannya terenggut sepenuhnya, sang suami memeluk erat istrinya dan berbisik. "Nama yang kau pilih dulu bagus, aku setuju."

Tangannya bergetar memegang batang kayu di punggung suaminya, ia menatap lamat wajah suaminya yang penuh lelah. "Aku mencintaimu. Terima kasih cantik, dan selamat tinggal Livingston."

"Tidak, buka matamu! Ayolah!" Memanggil dan meraung hingga pita suaranya putus pun tak akan membuat suaminya terbangun lagi. Sang istri memeluknya erat, ia mencium sekilas bibir pucat yang selama ini menjadi candunya.

"Aku juga mencintaimu dan anak kita." Sekali tarikan, ia mendorong tombak yang menancap di punggung suaminya hingga menembus tubuhnya sendiri.

Para penjaga mendekat dan membawa jasad mereka. Setelah semuanya pergi, suara tangis bayi terdengar memilukan. Seakan menangisi kepergian orang tuanya.

 Seakan menangisi kepergian orang tuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Guardians  [ENHYPEN & TXT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang