Semuanya berubah dalam hitungan detik. Suara klakson keras membelah udara, membekukan kaki yang sempat berlari.
Adiknya berada di tengah jalan, terlalu jauh untuk ditarik, terlalu dekat dengan bahaya. Barra menjerit, kakinya terpaku di tempat seolah bumi menelannya hidup-hidup.
"BIANNNN"
Suaranya pecah, namun teriakan itu terlambat. Segalanya berlalu begitu cepat.
Truk itu menabrak adiknya, tubuh kecil itu terhempas keras ke aspal. Jeritan terhenti. Dunia terasa hening dalam kepala Barra, semua suara memekik bagaikan ribuan gelombang yang menghantam jiwa. Dia terjatuh di lututnya, tangannya gemetar. Tubuhnya seperti mati rasa.
Barra berlari, kakinya tak terasa lagi menginjak tanah. Air mata jatuh deras, mengguncang dadanya yang sesak. Darah berceceran di jalan, bercampur dengan debu, kotor, dan panas yang membakar kulit. Di hadapannya, adiknya tergeletak tak bergerak.
Suara sirine dari kejauhan mulai terdengar, tapi waktu terasa berjalan begitu lambat. Tangisan Barra tak berhenti. Tubuhnya terasa lemas, tercekik oleh rasa bersalah yang menghancurkan.
"Abang minta maaf" lirihnya sebelum sang adik di angkat ke dalam ambulan yang baru saja tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind It (Revisi)
Short StoryFABIANO, bocah 10 tahun yang sudah memasuki jenjang pendidikan menengah pertama. Ya memang umurnya masih tergolong kecil untuk seukuran bocah SMP. Ia terlalu cepat mendaftar sekolah yang membuatnya menjadi yang terkecil di antara teman-temannya. Jug...