AFISKA DANIEL FABIANO 3

9K 694 11
                                    

Barra terbangun dengan nafas yang memburu dan bercucuran keringat. Ia mengernyit bingung saat mendapati tepat yang ia singgahi ini bukan kamarnya ataupun rumahnya.

"Kenapa Bar?"

Barra menoleh mendapati sang mama dengan wajah kacaunya. Mata sembab dan suara serak.

"J-jadi bukan mimpi ya mah?" Tanya Barra lirih.

"Mimpi apa"

"Bian..."

Diana terdiam. Perasaan sesak kembali memasuki relung hatinya. Ia sedih, sangat. Ibu mana yang tidak sedih melihat putranya terbaring di ranjang pesakitan dengan berbagai alat di tubuhnya.

Ia mengelus rambut putra sulungnya berniat menenangkan.

"Bian baik-baik aja kok. Adek kamu kuat percaya sama mama"

Barra mendongak menatap sang mamah dengan wajah yang tak kalah kacau.

"Maafin Barra mah, maafin Barra. Barra ga becus jagain Bian, Barra Abang yang ga berguna. Maafin Barra mah" tangisan Barra tumpah di pelukan Diana.

"Ga sayang bukan salah kamu. Ini semua udah takdir" Diana tak kuasa menahan air matanya saat Barra berkali-kali mengucapkan kata maaf.

Sungguh ia tak ada menyalahkan putranya sama sekali atas kejadian ini.

"Maafin Barra yang lalai. Maafin Barra yang ga berguna ini mah, maafin Barra"

Barra menumpahkan rasa sedihnya di pelukan Diana.

Perasaan bersalah kembali menyeruak di dalam dirinya. Di depan matanya sendiri ia melihat sang adik yang tertabarak tanpa bisa melakukan apapun.

Adiknya yang terkapar dengan bersimbah darah dan tubuh yang lemas. Ini semua salahnya. Ini semua salahnya. Ia memang benar-benar bukan Abang yang baik untuk Bian. Ia memang benar benar tidak berguna.

****

"Sudahlah jangan menangis. Ingat jati dirimu, kau laki-laki. Tidak ada laki-laki yang menangis"

"Sekuat apapun laki-laki, ia akan tetap menangis jika berada di titik terendahnya, pah"

"Heh sejak kapan kau menjadi begitu cengeng, Barra. Papa bahkan tidak pernah melihatmu menangis lagi sejak sekolah"

Barra tidak menjawab, ia sibuk mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.

Rangga selaku kelapa keluarga menenangkan anak sulungnya. Ia mengusap bahu Barra, menguatkan.

"Mama sama papa ngga nyalahin kamu. Kamu ga salah ini udah kejadian jadi yang lalu biarlah berlalu"

"Tapi kalau Barra bisa nyegah Bian pasti ga kaya gini kejadiannya pah"

"Udahlah itu semua udah terjadi. Sekarang kita doain adek kamu biar cepet sadar"

Barra hanya mengangguk. Ia masih terlalu merasa bersalah. Mau bagaimanapun orang menyemangati, rasa bersalah itu masih tersenyam di hatinya.

****

Sudah 6 hari terhitung sejak kejadian itu, Bian belum terbangun dari komanya. Setiap hari keluarga Barra bergantian untuk menjaga Bian. Kali ini yang bagian menjaga adalah Barra.

Ia duduk di samping brankar pesakitan Bian. Semua alat yang menunjang kehidupan Bian sebelumnya sudah di lepaskan hanya meninggalkan nasal cannula yang membantu pernafasannya.

Kata dokter kondisinya sudah membaik hanya tinggal menunggu sadar saja.

Barra setia memegang tangan Bian yang terbebas dari infus. Tangan itu ia tempelkan pada pipinya. Pandangannya tak lepas memandang Bian yang masih belum sadar.

"Bian kapan sadar. Katanya mau temenin Abang jalan-jalan. Kita bahkan belum sempet jalan-jalan berdua.

Bian maafin Abang. Abang bodoh ga nyegah Bian. Kamu cepet sadar. Abang ga bisa liat kamu gini terus. Kalau kamu bangun, hukum Abang. Hukum seberat-beratnya. Abang bakalan terima hukuman apapun dari Bian. Tapi kamu cepet bangun.

Kamu tega mama sama papa sedih. Iya tau Abang bodoh, tapi jangan hukum Abang kaya gini dek. Abang ga bisa."

Barra tak kuasa menahan tangisnya. Ia menangis merutuki kebodohannya menjaga Bian.

Hari menjelang sore. Satu keluarga itu sudah berkumpul dimana Bian di rawat. Diana membawa makanan untuk putra sulungnya karena ia yakin Barra pasti tidak makan.

Semenjak kecelakaan Bian, Barra menjadi tidak berselera makan. Kalaupun tidak dipaksa, maka Barra tidak akan makan.

Posisi Barra kini digantikan oleh Diana. Sedangkan Barra kini sedang makan bersama Rangga akibat paksaan dan ancaman Diana.

Bagaimana Barra tidak menurut, ancamannya Diana sangat menjengkelkan. Ia diancam tidak boleh menjenguk Bian lagi.

"Pah, Barra panggil dokter cepetan" Teriakan dari Diana membuat kedua pria beda umur yang sedang makan itu panik.

"Kenapa mah"

"Ga usah banyak tanya, panggilin dokter aja cepetan" ujar Diana yang sedikit emosi.

"Tinggal pencet tombolnya itu mahhh"

****

"Pusing?" Tanya sang dokter yang dibalas gelengan pelan oleh pasiennya.

Dokter itu terlihat menghela nafas kemudian berbalik menghadap keluarga pasien yang harap-harap cemas.

"Kondisi pasien sudah jauh lebih baik. Hanya menunggu pulih saja pasien sudah di perbolehkan pulang"

Penjelasan dari dokter membuat Diana, Rangga dan Barra menghela nafas lega.

"Tapi...."

Mereka terdiam menunggu penjelasan dokter selanjutnya.

"Saat kecelakaan terjadi benturan keras pada kepala pasien. Akibat benturan itu pasien mengalami amnesia"

Penjelasan dokter membuat keluarga kecil itu terlihat shock.

"A-apa ingatannya bisa kembali?" Rangga sebagai keluarga mewakilikan untuk bertanya kepada dokter.

"Itu tergantung pasiennya pak. Jika pasien berkeinginan untuk mengembalikan ingatannya dan berusaha, maka ingatan pasien bisa kembali. Tapi itu juga harus disertai dukungan keluarga.

Jangan terlalu memaksa pasien untuk mengingat hal-hal yang ia lupakan. Perlahan tapi pasti maka pasien akan sembuh. Semuanya perlu waktu"

"Dan untuk saat ini biarkan pasien istirahat terlebih dahulu karena tubuhnya masih sangat lemas"

"Baik dok terimakasih" dokter itu tersenyum kemudian berjalan keluar ruangan setelah pamit.

****

Semua orang menatap aneh ke ranjang rumah sakit yang diatasnya terdapat bocah dengan tersenyum ceria.

"Kalau itu namanya apa" tanya Bian antusias. Tangannya menunjuk pada infus yang tergantung pada tiang.

"I-itu infus" jawab Barra gagu.

"Wahhh keren banget" Bian terus menatap sekitarnya dengan berbinar-binar.

"Bar, adek kamu kenapa Bar?" Tanya Diana pada Barra namun pandangannya tak lepas pada si bungsu.

"Ngga tau mah"

"Panggil dokter, Bar" titah sang kepala keluarga.

****

See you next chap guyss

Mulai chapter berikutnya, kalian bakal di hadapin sama semua tingkah absurd Bian. Mulai dari sifat jailnya, kenakalannya, tingkah menggemaskannya dan lain halnya.

Siap untuk next chap?

Behind It (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang