[moccametz :: Di Mana Cinta]

279 35 0
                                    

Song: Di Mana Cinta by Tip-X
......................................................

Mengapa masih ada jerit tangis yang merobek telinga
Mengapa masih ada perang yang harusnya tinggal cerita
Apakah nurani tlah pergi dan putihnya hati
Tak mampu hapuskan gelap ini
Di mana cinta

Perbatasan Palestina-Mesir (jalur Gaza, Palestina)
"Cepat! Tutup lukanya!" Ahsan memberi perintah padaku yang masih menekan luka di dada seorang anak dari Gaza. Dengan satu tangan, luka anak itu tetap kutekan sembari menyobek kasa perban yang kutarik panjang.

"Alisa, bantu Zayid!" lagi-lagi, Ahsan sang ketua tim relawan perang Gaza dari Indonesia, memberi kami perintah. Alisa, gadis berkerudung abu-abu yang kotor oleh debu gurun itu segera membawa peralatannya. Kasa perban yang baru kusobek langsung kuserahkan pada Alisa.

"Tetap tekan lukanya!" aku mengangguk merespon komando Alisa. Dengan cepat Alisa memberi alcohol pada kasa yang di gulung dan langsung menekannya pada luka anak itu. Ditengah perjuanganku dan Alisa menyelamatkan anak Palestina yang menjadi korban perang sepihak di jalur Gaza, banyak terdengar jerit tangis anak-anak lain yang memilukan.

Tangis dari mereka yang kesakitan,dari mereka yang tersiksa, dari mereka yang kehilangan. Jerit tangis anak-anak itu terngiang di telingaku setiap malam aku berada di tempat ini, bahkan terkadang hembusan nafas terakhir dari orang yang gagal bertahan hidup terus terasa di benakku.

"Tidak..." lagi-lagi seseorang mati di depan mataku, anak itu kehabisan darah. Alisa menitikkan air mata, bibir keringnya digigit keras hingga mengeluarkan darah. Kututup kelopak mata jasad anak itu, Ahsan melihatnya dengan tatapan sayu, ketua kami yang tegas dan lugas itu turut berduka.

"Haahhh! Israel bajingan!" umpatanku terdengar oleh teman-teman relawanku dari Indonesia, mereka menampakkan ekspresi yang sama dengan Ahsan dan Alisa, emosi bercampur dengan rasa pedih.

Aku marah! Siapa yang bisa menahan emosi jika anak-anak ini menjadi korban dari perang tanpa alasan? Dimana nurani tentara bejat yang hanya bisa menuruti perintah komandan mereka? Putihnya hati anak-anak ini menjadi korban kegelapan hati para penguasa... lalu, dimanakah perdamaian yang diagung-agungkan atas nama cinta?

Asap-asap menghitam, semakin hitam
Mengisi jiwa-jiwa yang kelam
Desing dan dentum meriam jadi alasan
Tuk dendam yang tak pernah padam
Kita di sini... menjadi saksi tentang semua ini
Lelah menahan perih di batin ini
Tolong cepat hentikan

Malam itu, suara ledakan memekakkan telinga dan menggetarkan tempat tidurku yang berupa tanah berdebu beralaskan selapis kain. Dari tenda darurat relawan Indonesia yang bersanding dengan tenda-tenda darurat lain dari berbagai negara, aku dapat melihat asap ledakan dari roket martir Israel yang menutup kota Gaza.

"Kapan semua ini akan berakhir?" Alisa bergumam lirih, gadis yang satu angkatan denganku di universitas Al-Azhar itu menangis. Kematian anak kecil yang siang tadi gagal kami selamatkan membuatnya shock meski sudah berkali-kali Alisa mengalaminya.

"Entahlah," hanya jawaban itu yang bisa kuberikan. Aku dan semua yang ada disini, menjadi saksi perang... atau lebih tepatnya, pembantaian Israel terhadap masyarakat Palestina di jalur Gaza.

Tak bisakah mencoba tuk berdiri bersama
Dan rasakanlah hangatnya jiwa
Dalam balutan indahnya cinta
Tak inginkah lihat senyum di wajah mereka
Bukan semua yang menjadi luka
Di setiap deru nafas mereka

Pagi yang diselimuti mendung kelabu menjadi awal dari pagiku, mendung dari asap bekas ledakan dari Gaza. Beberapa korban kembali datang, kali ini lebih banyak dari sebelumnya.

"Zayid, Alisa, Rudi, Suratman, ambil bagian awal. Maryam, Bram, persiapkan alat-alat operasi darurat. Raris, ikut aku!" Ahsan memberi komando yang langsung dipahami oleh kami, tim relawan Indonesia yang menjadi mahasiswa di Al-Azhar.

Kami bersatu disini demi mereka, demi orang-orang yang kebebasan hidupnya direnggut oleh pertikaian yang tidak mereka tahu intinya. Kami disini... untuk memperjuangkan sesuatu yang bisa kami lakukan.

Jangan... lagi air mata
Biarkan damai menjadi raja
Resapi relung hati manusia

Debu gurun masuk ke mataku. Reflek, aku mengucek mataku hingga dahiku ternoda darah. Hari ini sangat melelahkan, tapi berbanding dengan hasil yang kami dapatkan. Kami telah berjuang keras untuk menyelamatkan korban yang terluka dan hampir semua orang berhasil selamat.

"Zayid, apa kamu tidak rindu rumahmu?" tanya Alisa saat kami bersanding menatap langit senja. Alisa tahu bahwa aku yang paling lama bertahan disini bersama Ahsan disaat yang lain sudah kembali pulang atau berganti dengan relawan lain.

"Tentu saja aku rindu. Apalagi jika ingat abah atau ummi di Indonesia sana," kucoba tersenyum untuk menenangkan hatiku sendiri. Alisa ikut tersenyum.
"Aku juga."

Dengar kami yang tak inginkan derita ini
Menjadi pengantar tidur kami
Melekat di setiap mimpi-mimpi

"Alisa! Alisa!!" dibalik asap pekat yang bersatu dengan api besar di tenda relawan, aku mencari gadis berkerudung itu. Baru saja sebuah roket dari Israel meledakkan tempat kami, roket yang menyerang luar zona perang.

"Ahsan!?" kulihat sahabatku yang tergeletak di samping pancang tenda, Ahsan sudah tidak bernafas lagi saat kulihat keadaannya. Aku berusaha tersenyum melihat wajah sahabatku yang tersenyum, matanya sudah terpejam rapat. Aku berdiri dan pergi, bukan karena aku tidak peduli pada Ahsan, tapi aku harus mencari Alisa.

"Kumohon ya Tuhan, jangan biarkan Alisa..." doa yang kupanjatkan belum sempat selesai saat aku melihat sosok itu, sosok gadis berkerudung abu-abu. Aku bernafas lega, kuhampiri Alisa yang berdiri terhuyung sambil menggendong anak kecil yang tadi siang ditolongnya, anak berusia empat tahun yang kehilangan kedua orang tuanya.

"Zayid," Alisa menyunggingkan senyum, tapi yang kulihat dari senyum Alisa adalah senyum menahan sakit. Kudekati Alisa dan dia menurunkan anak itu.

"Zayid, rawat Khumair ya..." pinta Alisa yang ambruk ke depan, otomatis aku menangkap tubuhnya. Kepala Alisa bersandar di dadaku, dan aku dapat melihat luka menganga di punggungnya.

"Alisa!" kututup luka Alisa dengan telapak tanganku, "Bertahanlah! Aku akan membaw..."

"Tolong rawat Khumair untukku," Alisa mendongak hingga wajahnya yang pucat berhadapan dengan wajahku. "Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi..."

Air mata Alisa menyusul air mata Khumair yang tidak pernah melepaskan pegangannya pada tangan Alisa. Tatapan Alisa padaku adalah tatapan meminta, tatapan dari sebuah permintaan, sebuah permintaan terakhir...

"Aku berjanji... akan kurawat Khumair untukmu... Alisa."
......
END

SongFict: Pilu Senada LaguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang