9. Terbongkar

138 30 22
                                    

Harusnya aku menutupi itu semua tapi kenapa aku sendiri yang membongkarnya
Sekarang entah bagaimana ke depannya karena yang kutahu hanya kata kacau yang bisa menggambarkannya

~Author

Malam semakin larut tapi Shandy baru saja pulang ke kediamannya. Entah kemana saja perginya tapi yang jelas hampir tengah malam ia baru sampai di rumah.

"Dari mana saja kamu? Keluyuran ngga jelas jam segini baru pulang. Masih inget rumah kamu?" Baru saja ia melangkah masuk ke dalam, tapi sudah disambut dengan suara papanya yang begitu keras.

"Pa.. biarin dong namanya juga anak muda" Sahut mama Shandy dari belakang papanya dan mengelus tangannya guna memberi sedikit ketenangan.

"Tapi anak ini semakin hari semakin tidak tau aturan" Mungkin saat ini Hernawan, papa Shandy begitu geram melihat putra semata wayangnya itu. Apalagi melihat Shandy yang hanya diam berdiri di depannya tanpa berniat menjawab pertanyaan darinya. Entahlah Shandy ini bisu atau tuli sehingga ia tidak bereaksi sama sekali.

"Jawab Shandy!" Bentak papanya sekali lagi.

"Main" Jawab Shandy dengan ogah-ogahan. Rasanya ia ingin mengabadikan saja papanya tapi sepertinya kali ini ia akan sedikit meluangkan waktu untuk meladeni papanya ini.

"Kapan sih kamu diem aja di rumah? Kerjaan main bolos main bolos.. gitu aja terus Sampek pusing papa"

"Boleh Shandy balik pertanyaannya? Kapan papa dan mama di rumah? Kerja kerja dan kerja terus dari Shandy belum bangun Sampek Shandy tidur lagi. Lalu buat apa Shandy di rumah jika Shandy bisa bahagianya di luar sana?" Setelah mengatakan itu Shandy pun pergi. Entah perkataan apa lagi yang akan keluar dari mulut papanya. Rasanya begitu sesak mengatakan hal itu hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya.

"Papa dan mama kerja juga untuk kamu Shandy" Shandy sudah tau dan hafal jawaban apa yang akan diterimanya. Entah sampai kapan papanya mengatasnamakan dia dibalik sibuknya. Padahal memang papanya saja yang gila harta.

Brak!

Shandy menutup pintu kamarnya dengan kasar kemudian menyandarkan tubuh di belakangnya. Tidak, dia laki-laki tidak seharusnya ia menangis. Tapi kenapa rumah ini seakan penuh dengan luka. Di mana kebahagiaan yang harusnya ia dapat? Di mana pepatah yang mengatakan bahwa rumah adalah surga? Dan di mana ia bisa membuktikan bahwa rumah adalah sebaik-baiknya tempat pulang?

Sekotak susu dingin menjadi temannya menikmati angin di balkon malam ini. Ya, ia sudah terlalu banyak minum soda hari ini hingga ia mengurungkan tangannya ketika ingin mengambil minuman itu lagi dan lebih memilih susu kotak dingin sebagai gantinya.

Angin malam berhembus semakin kencang. Mungkin ingin memberikan ketenangan kepada pemuda yang sedang membutuhkannya. Atau justru memberikan isyarat padanya jika hari sudah terlalu larut malam dan harusnya ia pergi beristirahat.

"Shan.. jangan lama-lama di luar, ngga baik" Tiba-tiba saja suara itu mengingatkannya. Suara wanita yang begitu dikaguminya. Bagaimanapun karenanya lah ia lahir di dunia meski kasih sayang tidak begitu tampak di kesehariannya.

"Iyaaa ma" Jawab Shandy sekenanya dan menoleh ke belakang tepat di ambang pintu mamanya berada. Melihat Shandy yang belum beranjak dari tempatnya, membuat sang mama kembali berjalan untuk mendekatinya.

"Anak mama sudah besar. Lain kali jangan begitu sama papa ya sayang, bagaimanapun dia adalah papa kamu" Nasihat sang mama sambil mengelus surai anaknya itu. Shandy hanya tersenyum mendengar penuturan sang mama. Sebenarnya mamanya adalah wanita yang lembut berbeda dengan sang papa. Sayang saja, sang mama selalu ikut papanya bekerja hingga jarang sekali Shandy mendapatkan momen seperti ini.

Untitled || UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang