21. Maaf

171 28 27
                                    

Besar atau kecil sebuah kesalahan
Harus tetap ada kata maaf yang terucap
Entah diterima dan diberi kesempatan
Atau justru dianggap angin lewat

~Author

Tiga orang pemuda tampak sibuk berdiri di depan mading. Mereka mencopot kertas-kertas dan juga foto yang tertempel di sana kemudian menyobeknya. Terlihat sekali jika wajah ketiganya tidak bisa santai, alias mereka benar-benar menahan kesal untuk saat ini. Bagiamana tidak, jika masih pagi seperti ini mereka banyak menemukan gambar wajah salah satu temannya yang tertempel di sana.

Setelah selesai dengan kertas tersebut, ketiganya bertatapan seolah sedang berbicara lewat isyarat mata. Keduanya mengangguk kemudian berbalik dan berjalan menjauh dari meninggalkan mading. Tunggu sebentar, sepertinya ada terlewat.

"Woy kalian mau kemana?" Tanya salah satu pemuda berkacamata yang tertinggal oleh kedua temannya. Tapi kedua temannya tidak menggubris dan tetap lanjut berjalan meninggalkan pemuda berkacamata yang tengah kebingungan tersebut. Mereka tidak akan membiarkan Zweitson dan pertanyaan bodohnya itu mengacau kekerenan mereka dengan muka sangar dan gaya berjalan yang cool. Toh mereka yakin jika Zweitson akan lebih memilih menyusul mereka daripada mengambek dan minta dijemput.

"Kita ngapain ke sini?" Bisik Zweitson di antara kedua telinga temannya. Fiki yang geregetan dengan Zweitson yang banyak tanya pun membuang nafas kasar kemudian menoleh dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Zweitson, mengisyaratkan bahwa ia harusnya diam.

"Oh oke" bukannya diam pemuda satu ini justru menjawab isyarat dari Fiki dengan pengucapan. Hal itu membuat Fiki menepuk jidatnya sendiri. Untung saja Fajri belum mengamuk dengan kepolosan Zweitson ini.

"Mana Farhan?" Tanya Fajri pada seisi kelas. Ya, mereka bertiga sedang berada di ambang pintu kelas XI IPS 2, kelas Shandy dan kawan-kawannya termasuk Farhan.

"Ngapain Lo nyariin dia?" Tanya balik salah seorang pemuda di pojok sana, yang tak lain adalah Ricky.

"Ada urusan" jawab Fajri singkat. Tujuannya hanya ingin mencari Farhan bukan mengobrol dengan orang yang berada di kelas tersebut.

"Rooftop" jawab Ricky tak kalah singkat. Setelah mendapat informasi yang ia inginkan, Fajri berbalik dan kembali melangkah kebtempat yang tadi disebut oleh Ricky dan diikuti oleh kedua temannya.

Sesampainya di rooftop, Fajri segera menabur sobekan kertas mading yang ia genggam tepat di muka pemuda berambut kribo tersebut. Hal itu tentu saja membuatnya marah. Dasar adik kelas tidak punya sopan santun, pikirnya.

"Apa maksud Lo?" Bentar Farhan marah bahkan ia sampai berdiri dari duduknya.

"Seharusnya gue ngga sih yang tanya? Apa maksud Lo memperkerjakan Fenly tapi cuma buat dibully ha?" Fajri juga menaikkan nada bicaranya. Ia sungguh sudah kehabisan kesabaran kali ini.

"Son diem, jangan ngerusak suasana" bisik Fiki memperingatkan Zweitson sebelum pemuda berkacamata itu melontarkan perkataan bodohnya.

"Iya tau" jawab Zweitson sekenanya.

"Yang kerja dia yang dapet duit dia kenapa Lo yang sewot?" Sepertinya Farhan benar-benar memancing emosi pemuda di depannya.

"Karena dia temen gue bangsat" tanpa aba-aba Fajri menjawab disertai dengan kepalan tangan yang sudah mendarat di pipi Farhan.

"Terus mau Lo apa? Ngajak gue berantem?" Farhan mendorong Fajri ke belakang kemudian membalas pukulan yang tadi ia terima. Tentu saja hal itu juga membuat emosi Fajri semakin besar sehingga perkelahian antara dua pemuda tersebut tidak bisa dicegah.

Gilang, pemuda manis itu tampak kebingungan melihat kejadian yang tiba-tiba ini. Antara ingin membantu Farhan dengan ikut berkelahi atau justru mencari bala bantuan.

Untitled || UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang