Cerita 3: JOHN YANG MALANG

11 2 0
                                    

Rumah keluarga John Denver selalu terlihat muram di setiap malamnya, dengan suasana kuno dari bangunan itu yang tetap melekat dari masa ke masa. Rumah itu dihimpit oleh bangunan modern yang ada di kiri kanan yang menjadikannya terlihat sangat mencolok. Terkadang, sebuah peradaban memang berubah, tetapi masa lalu tetap saja ada dan mengikuti seterusnya.

Mary, yang menjadi istrinya sedang duduk di ruangan rias sambil melantunkan sebuah lagu dari mulutnya. Ia terlihat tampak gugup, mencoba untuk tetap meyakinkan dirinya di hadapan sebuah cermin.

"Apa kau gugup?" ucap suaminya

"Ya, sedikit. Tapi aku akan berusaha keras untuk ini"

"Kau tersenyum, tapi bibirmu gematar. Apa perlu kubuatkan teh hangat?"

"Ah, tidak John, sebentar lagi aku akan berangkat"

"Baiklah, aku akan menunggumu diruang tamu. Dan, jangan lupa untuk berdandan yang cantik." Rayu suaminya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Apa kau yakin!? Kalau begitu aku akan direbut oleh pria lain, John," balas sang istri dengan senyum nakalnya.

Suaminya menutup pintu sambil tersenyum tanpa mengucapkan apa-apa lagi. John berjalan keruang tamu, tampaknya dia terlihat lebih gelisah ketimbang istrinya, dengan gugup ia masukkan tangan kurusnya ke saku mantel yang terbuat dari wol tebal. Cuaca di luar terasa dingin, semakin malam akan semakin terasa dingin.

Istrinya keluar, dia telah siap untuk pergi menghadiri sebuah acara lomba menyanyi. Dengan mengenakan gaun berwarna merah mawar dipadu dengan pita hitam di belakangnya. Sementara topi hitam dengan pita satin menutupi rambut coklat tuanya yang panjang bergelombang. Ia tampak cantik, sebagaimana bunga mawar yang berada pada sebuah ruangan di musim panas.

"Aku sudah siap untuk pergi"

"Ya. Kau benar-benar terlihat cantik malam ini. Aku juga minta maaf karena tak bisa mengantarmu keluar"

"Tak apa-apa sayangku, aku mengerti keadaanmu. Seharusnya akulah yang minta maaf karena telah meninggalkanmu sendiri"

"Jangan pikirkan aku, fokus saja pada lombanya, aku bisa menjaga diriku sendiri. Jika kau menang, itu adalah sebuah kebahagiaan untukku"

"Untuk kita lebih tepatnya," ucap istrinya sambil mengecup pipi suaminya.

Suaminya membukakan pintu untuk sang istri dan menyerahkan sebuah mantel panjang. Sang istri balas memegang tangan suaminya, tersenyum, dan mengucapkan selamat tinggal. Pria itu sekarang berada sendiri di depan pintu sambil memandangi punggung istrinya. Malam telah melenyapkan bayangan perempuan tersebut seiring dengan semakin jauhnya ia melangkah. John berbalik dan menutup pintu tersebut, lalu ia menyender sejenak pada pintu itu untuk mengambil nafas panjang. Ia sedang mengumpulkan tekad untuk sesuatu yang akan ia lakukan.

Ia melangkahkan kaki, beranjak menuju kamarnya.

John Denver adalah seorang suami muda yang berusia 29 tahun, pernikahannya dengan Mary Rambaldi Denver, selama empat tahun belum sama sekali dikaruniai seorang anakpun. Suaminya bekerja sebagai juru tulis di kantor catatan sipil, namun sayangnya, fisiknya sekarang ini telah menjadi halangan bagi pekerjaannya tersebut. Ia sudah terlalu lemah untuk bekerja selama satu hari penuh. Ekonomi yang sulit, ditambah penyakit yang diderita suaminya menyebabkan mereka harus kekurangan uang.

John selalu memikirkan masalah ini, ia lemah dan tak bisa membantu sang istri untuk mencari nafkah. Badannya kurus, dan akan semakin kurus, rambutnya yang semakin menipis akan mengalami kebotakan. Dokter telah memvonis dirinya dengan suatu penyakit yang berbahaya, meskipun penyakit tersebut sukar dan belum diketahui cara penyembuhannya. Ia selalu bersedih karena keadaan, merasa tak berguna sebagai seorang suami. Terkadang, dia selalu mengutuk dirinya sendiri ketika mentalnya tengah jatuh, namun sang istri adalah seorang perempuan yang tegar, ia selalu setia dan menerima keadaan suaminya itu dengan apa adanya. Sebuah tragedi dalam kehidupan, penyakit yang diidap suaminya mulai mengganas tiga bulan setelah pernikahan mereka.

Pria itu duduk di dekat meja belajar yang ada di kamarnya. Ia mengambil kertas dan pena, dan mulai menuliskan sesuatu pada kertas tersebut.

***

"John, Aku sudah pulang!"

Istrinya kembali. Ia melepas mantel dan menggantungkannya di samping pintu. "John! Kamu dimana?" panggil istrinya, dan sambil berjalan menuju ke arah kamar.

"Aku berhasil memenangkan lombanya, aku lolos Jhon. Apakah kau tidak mau menyambutku!?" ucap istrinya lagi dengan senyum lebar di wajahnya. John tak menjawab seruan istrinya, atau mungkin ia tertidur? Atau sedang bersembunyi dan ingin mengejutkan istrinya?. Perempuan itu  membuka pintu kamar dan ia melihat suaminya sedang tertidur di meja belajarnya. Ia mendekat, mencoba membangunkannya walau merasa tidak enak. Digoyangkannya tubuh suaminya dengan pelan, namu ia tak bangun, atau mungkin ia benar-benar lelah? Pikirnya.

Mata perempuan itu sekarang beralih ke arah kertas yang terselip di bawah sebuah botol obat yang terbuat dari kaca berwarna coklat tua. Ia penasaran dan menarik kertas tersebut, lalu ia membaca isinya.

"Untuk istriku tercinta.

Jika kau telah membaca surat ini, itu berarti aku sudah mati. Aku minta maaf atas kebodohan yang telah kulakukan, yang mana Tuhan pun pasti akan membencinya. Aku telah meminum racun dari botol kaca itu, dan aku tidak menyesalinya sama sekali.

Jika kau bertanya alasannya. Jujur, aku hanya tidak tahan dan tidak ingin menyusahkanmu lagi. Kemarin, tanpa sepengetahuanmu, aku telah melihat surat dari Dokter yang engkau sembunyikan. Aku divonis mati, dan umurku hanya akan bertahan Sampai dua tahun lagi. Aku tahu bahwa waktu dua tahun adalah waktu yang lama bagiku, aku tidak sanggup melihatmu tersiksa dan menangis, atau pura-pura selalu merasa tegar di depan diriku. Aku hanya berharap, setelah kematianku, kau bisa mendapatkan seorang pria yang lebih baik dan lebih tampan lagi dari diriku.

Kau sangat cantik, Mary. Jangan kau sia-siakan kecantikanmu hanya untuk mengurusi pria sekarat sepertiku. Tinggalkan dan lupakan aku, aku hanya mempercepat kematian ku sendiri. Tak ada bedanya sekarang atau nanti, aku tetap akan pergi meninggalkanmu. Sayangku, maafkanlah aku sekali lagi. Sungguh, aku benar-benar mencintaimu dari lubuk hatiku yang terdalam.

Maafkanlah kebodohanku!

Dariku yang selalu mencintaimu

                          JHON DENVER"

perempuan itu terduduk lemas setelah membaca surat itu, ia menangis, lalu beralih memeluk tubuh suaminya yang telah mati.

Diluar, suasana dingin malam telah berganti dengan hujan. Hujan yang rintik-rintik mulai beralih menjadi hujan yang sangat deras lalu meredam suara tangis perempuan tersebut.

Sungguh, pria yang malang!

Selesai....

Next story'.

KUMPULAN CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang