🦄 Resilience - 07 🦄

1.4K 247 65
                                    

Keheningan kembali melanda begitu pertanyaan Neron terlontar. Padahal biasanya, Alter akan menegur jika ada yang berbicara ketika acara makan berlangsung. Namun kini, pemuda itu juga turut bungkam karena selain nada suara Neron yang berubah lebih serius, juga tatapan adiknya itu terlihat amat memicing.

"Ragie, jawab! Siapa Barye?!"

Mendengar desakan Neron. Mau tidak mau, Barye yang sejak awal mendengar pertanyaan Neron menunduk, kini mengangkat kepala hingga pandangannya bisa melihat raut-raut penasaran dari empat pria dewasa di sana. Terkecuali sosok Ayah kandungnya itu yang tetap memasang raut tenang dan tanpa ekspresi. "Aku, Om, Barye!"

Shiro yang memilih melanjutkan untuk makan tersedak hingga wajahnya memerah begitu mendengar pengakuan Barye. Mulutnya baru akan terbuka begitu suara tawa keponakannya itu terdengar mengudara dengan kalimat penjelasan yang mengikuti.

"Lucu, ya, Om. Namanya Barye. Tapi aku Ragie, biasanya temen deket aku yang manggil aku Barye!" jelas Barye dengan memasang raut tenang. Meskipun nyatanya, saat ini jantungnya terasa jumpalitan begitu mendengar pertanyaan Neron. Sial sekali, dia lupa memberitahu Sea agar tidak menelepon kembali.

Neron menghela napas lega tanpa sadar. Kepalanya lantas mengangguk begitu mendengar jawaban Barye. "Dasar aneh!" cibirnya pelan yang tertuju kepada si penelepon tadi.

Alter melirik dengan tatapan memicing. Jika diperhatikan lebih teliti, remaja yang berstatus sebagai anak dari adiknya itu terlihat gugup dan menyembunyikan sesuatu. Meski begitu, dia tetap diam tanpa mengatakan sepatah katapun. Karena dia tidak akan memojokkan tanpa mengetahui secuil rahasia yang tengah disembunyikan.

"Seandainya aku punya kembaran terus namanya Barye, pasti serasi ya, Om?" Barye bertanya dengan kepala menunduk. Tahu betul jika Leo yang duduk di samping meliriknya lebih tajam dari sebelumnya.

"Sayangnya kau tidak punya kembaran, Ragie. Kau tahu sendiri kau lahir karena kesalahan!" cecar Leo tanpa tedeng aling-aling.

"Le!"

Seruan Alter, Shiro, beserta Neron yang terdengar kompak itu hanya dibalas dengan anggukan malas oleh Leo. "Aku selesai, Kak. Aku akan berangkat ke kantor sekarang!" ujarnya setelah berdiri dengan gerakan kasar. Dia bahkan tidak menoleh ke belakang begitu mendengar panggilan dari Kakak sulungnya itu. Entah ini firasatnya saja, atau bukan. Tapi sekarang dia merasa jauh lebih asing dengan putranya itu. Sebelumnya, mereka memang asing. Tetapi sekarang, perasaan asing itu seolah berlebihan. Pertama, putranya itu bersikap aneh. Aneh dalam hal memanggil dirinya sendiri, misalnya.

Kejadian di club malam itu seolah berputar-putar di ingatannya pagi tadi. Bagaimana cara Ragie menatapnya dengan penuh harapan. Bagaimana Ragie menatapnya penuh kasih sayang. Itu yang kedua. Dan sekarang, perubahan itu dia rasakan dengan amat nyata. Tidak ada tatapan penuh harapan, ataupun penuh kasih sayang yang dia lihat. Asing, aneh, dan terasa jauh meski mereka berada di jarak yang begitu dekat. Diantara mereka seolah ada tembok tinggi. Leo mengumpat dalam hati dengan perasaan dongkol, kenapa dia justru memikirkan hal tidak berguna seperti ini? "Sial, dia bukan siapa-siapa!" cetusnya sebelum melangkah keluar dari pintu utama.

"Papamu sedang banyak pikiran, Ragie. Ucapannya tadi jangan dipikirkan!"

Barye tertawa sembari menggeleng begitu mendengar perkataan Alter yang seolah memahami perasaannya sekarang. Dia tidak membalas, rasa sakit pada perasaannya semakin terasa nyata. Kebenaran jika mereka lahir karena sebuah kesalahan itu ternyata benar. Julukan yang dia dapat saat sekolah dasar memang benar, -anak haram- teman-temannya mengatakan jika dia anak haram.

"Ragie--"

"Aku nggak pa-pa, Om. Aku selesai!" tukasnya yang seolah menghindar untuk melanjutkan obrolan sebelumnya.

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang