🦄 Resilience - 06 🦄

1.7K 275 43
                                    

Harusnya Leo menentang perkataan Alter dengan mengatakan. "Tidak, itu tidak akan terjadi!" Seharusnya memang begitu. Namun, alih-alih mengatakan kalimat penentang. Mulut sialannya justru membalas. "Ya-ya Kak, secepatnya!"

"Bagus. Sekarang bersih-bersih dulu, ya, Ragie? Nanti turun buat sarapan!" Alter memberi perintah setelah mengacak rambut Barye dengan gemas. Binar kebahagiaan yang terlihat di kedua netranya masih belum redup. Seandainya dulu mereka menerima Ragie dengan tangan terbuka, mungkin keadaannya tidak akan seperti sekarang. Mereka bisa lebih dekat tanpa ada kesan canggung yang diperlihatkan oleh keponakannya itu.

Barye gamang. Dia harus melangkah ke mana? Ini bahkan kali pertama dia menginjak lantai Mansion di sini. Jika dia berbohong dengan berkata lupa kamarnya ada di lantai mana dan sebelah mana, tentu itu akan menimbulkan kecurigaan. 

"Ayo Papa antar, Ragie!"

Detik itu juga kepala Barye sontak mendongak begitu mendengar tawaran Leo. Dua kali, dua kali kalimat itu dia dengar dari mulut Ayahnya. Dia jadi ragu, apa benar Ayahnya itu tega menyakiti saudara kembarnya? Sementara dia sendiri melihat bagaimana senyum Ayahnya yang tidak pernah surut sejak tadi.

Barye mengangguk kecil sebelum ikut melangkah di belakang Leo setelah tadi Ayahnya itu berpamitan untuk naik ke lantai atas kepada Alter, Shiro, serta Neron. Helaan napas leganya juga terdengar sangat pelan, itu karena sikap Leo. Seandainya sikap Ayahnya itu seperti yang Ragie ceritakan, mungkin dia akan menjadi orang paling bodoh karena tidak tahu sedikitpun tentang Mansion ini, terutama kamar saudara kembarnya itu.

Sibuk dengan pemikirannya sendiri, Barye sampai tidak sadar jika mereka sudah masuk ke dalam lift, dan keluar di lantai tiga. Bahkan, sampai Leo membuka pintu kamar, fokusnya belum kembali. Sampai ketika Leo menghentikan langkah hingga keningnya menabrak punggung Ayahnya itu, dia baru tersadar hingga mundur dua langkah dan meringis karena keningnya yang tiba-tiba merasa nyeri. Detik itu juga dia sadar, jika sosok Ayah yang baru dia ketahui selama hampir lima belas tahun itu, kini menatapnya dengan raut datar, benar-benar datar, senyuman yang dia lihat ketika berada di lantai bawah tadi benar-benar lenyap tanpa bekas.

"Kau pembawa masalah, sialan!"

Barye bahkan belum bereaksi terkejut atas kalimat yang dilontarkan oleh Ayahnya itu ketika tubuhnya ditarik untuk mendekat, baru kemudian didorong hingga menabrak meja nakas. Di atas meja tersebut ada bingkai foto yang ikut terjatuh dan pecah. "Pa--papa.." Ini bahkan panggilan pertamanya selama lima belas tahun. Juga, panggilan secara langsung kepada sosok Ayah kandungnya itu. Bukannya merasa terharu karena bisa bertemu setelah sekian lama, dia justru merasakan sakit tak kasat mata yang mulai menggerogoti.

"Kau sengaja pergi karena tahu mereka akan datang? Iya 'kan, sialan?!" tuding Leo yang merujuk kepada ketiga saudaranya itu. Dia sudah menyimpulkan jika putranya sengaja pergi dari club karena tahu jika ketiga saudaranya akan datang. Bukannya merasa bersyukur karena putranya ada, dan kembali disaat yang tepat. Dia justru merasa amarahnya menggelegak karena menghadapi masalah baru. Sialnya lagi, pikirannya justru seolah buntu karena masalah tersebut merujuk pada sosok putranya yang tidak dia anggap. "Jawab!"

Barye menunduk. Seharusnya dia menduga ini akan terjadi. Padahal, sejak datang dia sudah menyimpulkan jika semua yang dikatakan Ayahnya itu hanya kebohongan semata. Namun, perasaannya justru goyah hingga berakhir membuka lembaran luka baru, dan itu tepat melukai ulu hatinya yang memiliki ruang kosong. Saudara kembarnya itu juga sudah bercerita jika Ayah mereka memang membenci kehadiran mereka, meski bukan dia yang dimaksud. Akan tetapi, yang berada di posisi Ragie saat ini ialah dirinya. Seharusnya dia percaya tanpa ada keraguan sedikitpun.

"Jawab, sialan!"

Kepalan tangan Barye terbentuk begitu dagunya dicekeram hingga kepalanya sontak mendongak. "I-iya. Dan seharusnya aku juga cerita tentang perlakuan Papa yang sebenarnya!"

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang