🦄 Resilience - 09 🦄

1.1K 213 29
                                    

Begitu Leo mengatakan jika meeting akan dilanjut nanti. Semua yang ada di sana bergegas keluar. Di ambang pintu yang masih berdiri Barye di sana, setiap pasang mata melirik dengan terkejut karena wajah remaja itu tidak ada bedanya dengan Leo. Yang mereka bisa simpulkan sendiri, yaitu remaja yang mereka lihat itu memiliki ikatan sedarah dengan Leo. Terlebih, panggilan yang mereka dengar tadi seolah memperkuat dugaan.

"PAPA!" Barye kembali berteriak sembari berlari mendekati Leo. Melihat raut marah yang diperlihatkan oleh sosok Ayah kandungnya itu, Barye bergerak impulsif dengan menarik dasi yang terpasang di kerah kemeja, sedetik kemudian begitu tubuh Leo agak membungkuk. Dia dengan cepat melingkarkan kedua tangannya di sekeliling leher Leo. "Papa," bisiknya kecil. Dan itu tepat di samping telinga kanan Ayahnya itu.

Leo bahkan belum bereaksi begitu tarikan pada dasinya terjadi, dan sesaat setelah tubuhnya di peluk oleh sosok remaja yang menjadi putra kandungnya itu, darahnya seolah berdesir hebat. Namun, sedetik kemudian begitu mengingat jika remaja itu pembawa masalah baginya, secepat itu pula pelukannya dia lepas secara paksa. "APA YANG KAU LAKUKAN, SIALAN!" hardiknya setelah mendorong tubuh Barye hingga putranya itu terdorong ke belakang.

Karena tidak memperkirakan akan didorong oleh sosok Ayahnya itu, Barye yang terkejut langsung terjatuh dengan posisi setengah berbaring.

"LEO!"

"K--kak.." Leo menelan ludah susah payah begitu melihat kehadiran Kakak sulung, beserta sekretarisnya itu di ambang pintu. Dengan gerakan cepat pula dia membantu Barye untuk kembali berdiri. "Kau baik-baik saja, Ragie?" tanyanya dengan kembali memeluk tubuh putranya itu.

Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Barye untuk mempererat pelukan. Meski rasanya kurang nyaman karena hubungan diantara mereka layaknya orang asing, bukan Ayah-anak. Karena dalam posisi ini juga dia benar-benar menempatkan diri seutuhnya sebagai Ragie. Dia bahkan ragu jika saudara kembarnya itu pernah dipeluk oleh Ayah mereka.

"Leo!" Alter kembali memanggil untuk kedua kali. Kali ini juga nada suaranya tidak se-lantang tadi. Tadinya, dia baru tiba di depan pintu ketika melihat tubuh keponakannya yang terdorong ke belakang. Karena tidak tahu sebab-akibatnya, yang dia salahkan tentu adik bungsunya itu.

Mendengar suara Alter yang lebih dekat lagi. Barye menoleh sekilas untuk melihat sembari memamerkan senyum. "Elusin rambut aku, Pa!" Pintanya setelah kembali memeluk.

Tahu jika putranya juga menyembunyikan jika hubungan diantara mereka layaknya orang asing di depan saudaranya, Leo menurut dengan mengelus rambut putranya. Agar terlihat lebih menyakinkan lagi, kepalanya sontak menunduk untuk mencium puncak kepala putranya itu. "Ceroboh. Harusnya kau hati-hati agar tidak terjatuh, Ragie!" ucapnya yang kemudian meregangkan pelukan untuk sekedar melihat wajah Barye.

"Ragie, apa yang terjadi?" tanya Alter setelah pelukan antara adik dan keponakannya itu terlepas. "Kau tidak apa-apa?"

Barye kembali memamerkan senyum sembari mendongak agar bisa menatap Leo. "Nggak pa-pa, Om. Tadi aku nggak sengaja injak kaki Papa, aku jadi kaget sendiri, terus-terus, jatuh, deh!" elaknya memberi alasan dengan melingkarkan tangannya di lengan Ayahnya itu. "Papa udah makan siang belum? Makan, yuk, Pa?" lanjutnya menawarkan yang sedetik kemudian merasa bahu kanannya dicekeram dengan kuat.

Alter tanpa sebab menghela napas lega. Sebetulnya, saat melihat interaksi antara adik bungsu dan keponakannya pagi tadi saat sarapan, firasatnya mengatakan jika keduanya menyembunyikan sesuatu dari mereka. Namun, melihat keduanya yang terlihat kembali akrab sekarang. Dia merasa jika pagi tadi memang karena mood adik bungsunya itu yang kurang baik sampai mengatakan kalimat sarkasme seperti itu.

"Belum. Mau makan bareng Papa, Ragie?" tanya Leo dengan memaksakan senyum. Meski dalam hati, perasaan amat dongkol serta amarah mulai naik ke permukaan. Jelas, karena kini dia seolah terjebak dengan permainannya sendiri. Siapa pagi tadi yang bersikap seolah jika hubungan mereka dekat? Itu dia. Yang lebih dulu bersikap manis dengan kembali memeluk, serta mengecup puncak kepala remaja enam belas tahun ini lebih dulu siapa? Dia juga.

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang