🦄 Resilience - 16 🦄

1.1K 228 51
                                    

"Ra--ragie.." Barye menggeleng histeris dengan air mata yang turut mengalir setelah membaringkan tubuh Ragie dengan pahanya sebagai bantalan. Perasaannya kacau bukan main. Ketakutan juga seolah membelenggunya dengan begitu pekat, terlebih saat menatap wajah Ragie yang semakin terlihat pucat pasi. "Ba-bangun, Ragie--"

Dadanya, -pusat seluruh rasa sakit yang terasa begitu dominan seakan bertambah sakit begitu tubuh Ragie tidak merespon setiap guncangan yang dia lakukan. Barye kembali menggeleng, kali ini lebih histeris dari sebelumnya. Air mata ketakutannya akan sesuatu yang tidak bisa dia bayangkan, seolah menari-nari hingga air matanya semakin deras mengalir, begitu juga dengan isak tangisnya yang semakin keras terdengar. Sebelum ini, topi beserta masker yang menutupi setengah wajahnya sudah dia lepas.

Dari pengamatan Barye. Saudara kembarnya itu berlari dengan kepala tertunduk. Entah sadar atau tidak, sepasang kaki Ragie berlari ke tengah jalan raya tanpa mengetahui jika dari arah berlawanan ada sebuah sedan hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi. Dia yang dari kejauhan melihat hal itu, berlari untuk menarik Ragie. Naasnya, kecepatannya kalah telak jika dibandingkan dengan kecepatan laju mobil. Alhasil, sebelum sepasang kakinya tiba di dekat Ragie, tubuh saudara kembarnya itu lebih dulu terpelanting karena ditabrak dengan sangat keras.

"RAGIE!" teriak Barye lantang. Guncangan yang dia lakukan pada tubuh saudara kembarnya itu juga semakin cepat. Namun tetap, tidak mendapat respon apapun dari Ragie. "Please.. bangun!"

"Lo harus bisa bertahan, Ragie!"

"Lo nggak boleh nyerah, nggak boleh!"

"Lo denger gue, 'kan? RAGIE?!"

"NGGAK RAGIE, NGGAK!"

"Rye-"

"Seaa, please.. bantu gue bangunin Ragie!" Isak Barye lirih dengan menyela cepat panggilan Sea yang terlihat menerobos kerumunan dan berdiri terpaku menyaksikannya yang memangku kepala Ragie yang tidak sadarkan diri. "Sea.. Ra--ragie.. Ragie--"

"Ambulansnya sudah datang!" seru salah satu dari banyaknya orang yang ada dikerumunan.

Melihat Barye yang hanya diam terpaku dengan pipi yang sudah basah oleh air mata. Sea mengambil alih dengan meminta bantuan orang-orang untuk membawa tubuh Ragie yang tidak sadarkan diri ke dalam ambulans.

"Rye, sialan! Sadar!"

"Ra--ragie.. Ragie pasti baik-baik aja, 'kan?"

"Pasti, Rye, pasti. Ragie sekuat lo, dia pasti akan segera sadar. Sekarang kita bawa Ragie ke rumah sakit dulu, yuk?" ucap Sea hati-hati. Melihat Barye yang menunduk dengan tubuh terguncang hebat, membuatnya turut merasakan ketakutan mendalam mengenai kondisi Ragie. "Rye, lo nggak mau sesuatu yang buruk terjadi-"

"Ragie-" Seolah tersadar jika Ragie sudah tidak ada di sini. Barye bangkit dengan terburu-buru. "Sea, Ragie--"

"Ragie udah dibawa ambulans, tujuannya ke rumah sakit terdekat."

Jantung Barye seolah kembali diremat kuat. Dia kira melihat Ragie tidak sadarkan diri dengan tubuh yang berlumuran darah, hanya halusinasinya saja. Namun kini, dia seakan ditampar oleh kenyataan jika yang terjadi itu memang nyata.

"Masuk, Rye!" tegur Sea frustasi karena Barye justru berdiri mematung setelah membuka pintu mobil. "Rye!" tegurnya lagi sembari menepuk kuat bahu Barye. "Masuk, sialan!"

"Ponsel.. Ponsel gue mana?!"

Setelah mobil mulai melaju di jalan raya. Sea menoleh begitu mendengar pertanyaan Barye. Sahabatnya itu terlihat linglung begitu dia menoleh sekilas. Seperti orang yang kehilangan tumpuan hidup, Barye juga terlihat seperti itu. Bahkan, gerakan tangan Barye yang mencari-cari keberadaan ponsel, terlihat amat serampangan. Sosok Barye yang dia kenal selalu terlihat tenang. Kini, dengan mata telanjang dia melihat jika sahabatnya itu terlihat hilang kendali.

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang