🦄 Resilience - 12 🦄

1.1K 197 57
                                    

"Gimanapun caranya, yang hadir harus Ragie, bukan gue-" Barye mengigit jari telunjuk seraya mondar-mandir dengan gusar. "Kalau gue telepon Sagi pake ponsel Om Neron, -duh, nggak!" gumamnya sendiri yang kemudian menggeleng karena merasa itu terlalu beresiko.

Posisi Barye sekarang ialah Mansion utama kediaman Osaka. Lebih tepatnya di dalam kamar yang ada di lantai tiga. Di sini, hanya ada dia sendiri. Ketiga saudara Ayahnya itu ada di salah satu ruangan yang dia ketahui adalah ruang rapat keluarga. Pembahasannya masih mengenai acara pengenalannya di muka publik yang akan dilangsungkan beberapa jam lagi. Sementara dia sendiri masih belum menemukan cara untuk kembali ke peran awalnya sebagai Barye, bukan Ragie. Maka dari itu, yang seharusnya hadir dan dikenalkan sebagai anak Leo adalah saudara kembarnya itu, bukan dirinya.

Menghembuskan napas panjang. Barye kembali melempar diri ke atas tempat tidur. Sejak kemarin, pikirannya dipenuhi dengan Ragie, Ragie dan Ragie. Karena terlalu mendalami peran hingga terjadi insiden kecil kemarin, dia sampai melupakan jika acara ini untuk saudara kembarnya itu. Ada untungnya juga Alter membawanya menjauh, walaupun hanya sehari. Tetapi itu cukup untuknya menyadari jika acara ini bukan untuknya.

Dan sekarang, dia lebih dibuat pusing lagi karena tidak tahu harus menghubungi Ragie dengan cara apa. Sempatnya berpikir untuk kembali menghubungi Sea menggunakan ponsel Neron. Namun, itu tidak terjadi karena Neron sendiri sudah curiga. Barye mengerang frustasi, menendang udara dengan kaki yang bergerak brutal hingga mengubah posisi menjadi telungkup dan membenamkan wajah pada bantal dia lakukan.

Diambang pintu, Alter berdiri sembari bersedekap dada. Gelengan kepalanya juga terjadi berulangkali begitu melihat tingkah sang keponakan. Dia di sini sudah terhitung hampir lima menit, dari posisinya sekarang, dia tidak bisa mendengar gumaman Barye. Karena sudah jelas, jarak antara pintu dan tempat tidur cukup jauh. Namun, gerakan-gerakan yang dilakukan keponakannya itu bisa dia lihat dengan jelas.

Melangkah masuk dengan pelan. Senyum Alter semakin mengembang, karena bukan lagi gerutuan yang dia dengar, melainkan umpatan serta makian kesal. "Ragie--"

"Ih ampun, Ragie!" Barye spontan menepuk bibir dengan telapak tangan begitu gerutuan kecilnya justru terdengar jelas begitu mendengar suara yang tiba-tiba terdengar menyebut nama saudara kembarnya itu. Berbalik setelah mengangkat wajah yang sebelumnya dia benamkan pada bantal, senyum manisnya terlihat sebagai balasan tatapan Alter yang menatapnya dengan kernyitan dahi. "Om?"

"Hm? Apa yang kau pikirkan, Ragie? Kau terlihat menyimpan banyak masalah. Apa itu benar?"

Barye menggeleng dengan heboh. Tawa kecilnya juga mengudara bebas untuk beberapa saat, meski terdengar canggung karena sebetulnya dia memang sempat berpikir untuk menceritakan perihal Ragie kepada saudara Ayahnya ini, -ah, bukan Ragie. Lebih tepatnya adalah Barye, yaitu dirinya sendiri. Namun, di satu sisi dia harus meminta izin dulu kepada Ragie. Bagaimanapun, ini bukan hanya tentangnya, melainkan saudara kembarnya itu, juga. "Ng--nggak, Om. Aku nggak punya masalah!" balasnya setelah sekian detik terdiam. "Tapi Om, aku boleh pinjam ponsel?"

"Buat apa, Ragie?" Alter menggeleng yang berarti dia menolak permintaan keponakannya itu. "Sekarang bukan waktunya untuk bermain game, kau harus bersiap-siap untuk acara nanti malam. Ayo, buat tubuhmu terlihat lebih bersinar!"

Barye menunduk sesaat sebelum kembali mendongak menatap Alter yang masih berdiri. "Aku nggak main game, Om-"

"Sekali tidak tetap tidak, Ragie! Ayo ikut Om!"

Begitu Alter berbalik untuk menjauh. Barye mengepalkan tangan, lalu membuat gerakan memukul. Sedetik kemudian begitu Kakak sulung Ayahnya itu kembali menoleh ke belakang, kedua tangannya sontak bertepuk. "Ny-nyamuk Om. Hush, pergi-pergi!"

RESILIENCE ; ||Slow Update||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang